Jakarta, bantuanhukum.or.id – Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan bertanggung jawab kelak akan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Oleh karena itu setiap anak perlu dijamin pemenuhan hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, tanpa perlakuan diskriminatif. Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi internasional tentang Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights berkewajiban memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana yang termaktub didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Ironisnya, negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua yang berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, seringkali justru menjadi pelaku kejahatan terhadap anak. Sebagaimana yang dialami ‘SM’, anak berusia 4 (empat) tahun yang menjadi korban pelecehan seksual yang pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah ‘Jejen’ pamannya sendiri yang hidup bertetangga dengan ‘SM’ beserta keluarga.
Saat ini, kasus yang tengah menimpa ‘SM’ sudah pada tahap Putusan. Setelah melewati proses perjuangan panjang di Pengadilan Negeri Cibinong dengan Nomor Perkara: 453/Pid.Sus/2015/PN.CBI telah diputus dalam permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong pada hari Senin, 14 Desember 2015 yang diucapkan di muka persidangan yang terbuka untuk umum, dengan amar putusannya menyatakan ‘Jejen’ terbukti bersalah melakukan tindak pidana pelecehan seksual dan menghukum ‘Jejen’ dengan pidana 7 tahun penjara dan denda Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
Namun terpidana ‘Jejen’ melalui kuasa hukumnya melakukan upaya perlawanan dengan melakukan banding atas putusan tersebut. Bahkan sebelumnya ‘Jejen’ menggugat Perdata orang tua dari ‘SM’ atas dugaan pencemaran nama baik dengan membayar kerugian kepada ‘Jejen’ selaku Penggugat sebesar Rp. 1.000.000.000 (Satu Milyar Rupiah), dimana angka tersebut sangat fantastis melihat profesi Lita Royanih sang ibunda sebagai pekerja rumah tangga, dan Suyatman selaku ayahanda hanyalah seorang pekerja proyek. Saat ini kasus Perdata yang dialami oleh orang tua ‘SM’ dengan Nomor Perkara: 105/Pdt.G/2015/PTUNPN.Cbi, yang saat ini tengah menunggu putusan dari Majelis Hakim yang akan diucapkan di muka persidangan yang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 30 Desember 2015 mendatang.
Lita Royanih selaku orang tua ‘SM’ yang di gugat perdata oleh Jejen menyatakan, “Ibu udah lega dah udah putusan perkara yang pidana, ibu terbukti gak nuduh orang sembarangan, ibu berharap untuk yang perkara perdata hakim dapat memutus seadil-adilnya,” ucap ibunda ‘SM’.
Suyatman selaku ayahanda dari ‘SM’ menambahkan, “Terimakasih kepada LBH Jakarta yang telah sabar mendampingi kasus saya dan anak saya ‘SM’ sampai saat ini, kalo gak di bantu LBH Jakarta, gak mungkin kasus ini akan berjalan dan bisa sampai pada tahap putusan,” pungkasnya.
Arif Maulana selaku Pengacara Publik LBH Jakarta yang fokus menangani kasus-kasus Minoritas dan Kelompok Rentan, dalam kasus ini bertindak sebagai Kuasa Hukum dari ‘SM’ dan orang tua menyatakan, “Kasus SM menunjukkan kepada kita bahwa anak dan perempuan adalah kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hukum dan HAM yang memerlukan jaminan perlindungan yang nyata dari negara. Terlebih diperlukan sensitivitas gender bagi Aparat Penegak Hukum untuk memahami dan menangani kasus yang menyangkut perempuan dan anak. Dalam Kasus ini, Orang tua SM yang menuntut keadilan terhadap anaknya yang menjadi korban pencabulan justru di “salahkan” dan menjadi korban kedua dengan gugatan perdata pelaku yang menuduh Orang tua SM melakukan pencemaran nama baik dengan tuntutan ganti rugi yang fantastis!”.
Kami berharap, hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berperan sebagai penegak hukum, keadilan, dan kebenaran yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara hukum berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sebuah sidang pengadilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, dapat memutus perkara dengan seadil-adilnya. (Hani)