TEMPO.CO, Jakarta – Tak sepakat dengan Kurikulum 2013, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta bersama para pegiat pendidikan mengirimkan somasi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh. Pegiat pendidikan tersebut adalah Federasi Serikat Guru Indonesia, Federasi Guru Independen Indonesia, dan beberapa tokoh pendidikan seperti Romo Benny Susetyo dan Itje Chodidjah.
Dalam somasi ini, penggiat pendidikan antara lain menuntut Menteri Nuh untuk membatalkan penerapan Kurikulum 2013, meningkatkan kompetensi guru secara berkesinambungan dan merata, serta tidak diskriminatif. Tuntutan tersebut harus ditindaklanjuti dalam waktu 14 hari. Jika tidak, para penggiat pendidikan akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.
“Kementerian Pendidikan harus diberi pelajaran supaya tidak sembrono,” kata Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti di kantor LBH Jakarta, Selasa, 30 Juli 2013.
Retno mengatakan dana yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk mencetak buku, pelatihan guru, dan hal-hal yang terkait implementasi kurikulum baru ini bisa diabaikan. Sebab, jumlah tersebut tidak sebanding dengan masa depan siswa.
“Dana yang sudah keluar, ya, biarkan saja, memang kurikulum ini jelek, enggak ada artinya,” kata dia. Menurut Retno, tidak ada kompromi untuk uji coba atau apa pun.
Sekretaris Jenderal FGII Iwan Hermawan menyatakan implementasi kurikulum baru merugikan banyak pihak, khususnya guru. Ia mengatakan guru mata pelajaran bahasa Inggris di SD dan teknologi informatika dan komputer di SMP dan SMA banyak yang dipecat karena mata pelajaran tersebut direduksi.
Menurut Retno, sejak diimplementasikan tanggal 15-22 Juli 2013, banyak guru honorer pelajaran TIK di sekolah non-sasaran yang dipecat. “Padahal sudah tujuh tahun dan semua dokumen untuk jadi PNS adanya di sekolah itu,” kata Retno.
Penerapan kurikulum ini, Iwan menimpali, juga merupakan praktek diskriminasi. Ia menyebutkan, tidak menyeluruhnya implementasi kurikulum ini akan menyebabkan kualitas siswa tidak merata. “Ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” kata dia.
Selain itu, Iwan, yang mengajar di Bandung ini, mengatakan sekolah non-sasaran dipaksa menandatangani surat kesediaan untuk menerapkan kurikulum baru. Semua konsep suratnya dikirim langsung oleh dinas pendidikan. Namun harus dicetak dengan kop surat sekolah. Kejadian serupa juga terjadi di DKI Jakarta.
Selain itu, di beberapa sekolah, siswa diminta mencetak buku sendiri dengan materi yang sudah diunduh dari situs web Kementerian Pendidikan. “Satu buku habis ratusan ribu per siswa,” kata dia. Sedangkan untuk pelajaran SMA, yang bukunya belum tersedia, akhirnya memakai buku penerbit swasta yang sudah terbit sebelum silabus rampung disusun Kementerian Pendidikan. “Jadinya tidak nyambung,” kata Retno.
Sumber: Tempo