Siaran Pers Bersama
Koalisi Masyarakat Sipil
104 Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) telah diumumkan lulus ujian kompetensi. Pengumuman itu menarik dicermati karena memperlihatkan Pemerintahan Joko Widodo dan Panitia Seleksi Capim KPK tertutup dan tidak bersungguh-sungguh menyeleksi figur-figur terbaik untuk memimpin lembaga anti rasuah di masa depan.
Sedari awal pembentukannya, Pansel telah dicurigai bermasalah oleh publik. Selain terdapat figur yang melanggar etik, beberapa nama dikenal dekat dengan kepolisian, institusi yang kerap bermasalah dengan KPK. Sehingga Pansel Capim KPK periode ini didugai menjalankan berbagai kepentingan.
Koalisi masyarakat sipil menemukan beberapa hal menarik yang mengindikasikan pemerintah dan/atau Pansel telah lalai ataupun sengaja dalam beberapa hal meluluskan nama tertentu dengan tujuan merugikan KPK dan upaya pemberantasan korupsi. Berikut beberapa hal baru yang koalisi temukan pada tahapan seleksi Capim KPK:
1. Kepres Pansel Tidak Dapat Diakses Publik
Sikap tertutup pemerintah dan Pansel itu dibuktikan dari upaya masyarakat sipil yang meminta salinan Keputusan Presiden Nomor 54/P Tahun 2019. Melalui surat bernomor: 436/SK-ADV-FT/VII/2019, tanggal 10 Juli 2019, Auditya Firza Saputra dari LBH Jakarta mengajukan surat permohonan meminta salinan Kepres tersebut.
Melalui surat Nomor: B123/Kemensetneg/Humas/HM.00.00/07/2019, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian Sekretariat Negara menyatakan tidak dapat memberikan Kepres itu kepada yang bersangkutan dengan alasan hanya diperuntukan untuk masing-masing anggota Pansel saja.
Padahal berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik, Kepres Pansel KPK merupakan informasi publik dan bukan termasuk informasi yang dikecualikan. Bahkan berdasarkan Pasal 61 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebuah keputusan dapat diberikan kepada pihak yang terlibat lainnya. Karena proses seleksi Capim KPK membuka ruang masukan publik, maka dengan sendirinya pihak terkait lainnya dalam proses seleksi tersebut dapat dimaknai adalah publik.
Sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut, publik berhak memperoleh Kepres itu tanpa terkecuali. Dengan tidak diberikannya salinan Kepres itu maka sudah dapat diduga bahwa Pansel hendak bekerja jauh dari harapan publik karena dijalankan dengan cara-cara yang tertutup.
2. Pansel Meluluskan Figur-figur yang Tidak Terbuka terhadap Laporan Kekayaan
Beberapa nama yang diloloskan Pansel hingga ke tahap test psikologi ternyata tidak melaporkan harta kekayaannya dalam lembaran Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Padahal LHKPN dari beberapa nama tersebut harusnya sudah dapat diakses melalui website KPK. Ketidakterbukaan LHKPN figur tertentu sesungguhnya telah menyebabkan mereka tidak memenuhi syarat sebagai Capim KPK dan harus dianggap gugur pencalonannya.
Dalil itu didukung ketentuan Pasal 29 huruf k UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menentukan syarat seseorang untuk dapat diangkat menjadi pimpinan KPK harus mengumumkan kekayaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Itu sebabnya berdasarkan ketentuan tersebut, beberapa nama yang tidak melaporkan LHKPN maka dengan sendirinya tidak sah mengikuti seluruh tahapan seleksi Capim KPK.
Berdasarkan Pasal 71 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan diatur bahwa keputusan dapat dibatalkan apabila: (a) terdapat kesalahan prosedur; atau (b) terdapat kesalahan substansi. Maka berdasarkan ketentuan UU Administrasi Pemerintahan aquo, Pansel diwajibkan membatalkan keputusan tersebut dengan membuat keputusan baru dan/atau melakukan tindakan administrasi negara untuk membatalkan kelulusan beberapa figur yang tidak memenuhi syarat dengan tidak mengumumkan LHKP tersebut.
3. Pansel Meluluskan Figur yang Berpotensi Melanggar Etik di KPK
Dalam pengumuman Capim KPK yang disampaikan Pansel masih terdapat figur yang terlibat pelanggaran etik di KPK. Namun karena ketidakberanian Pimpinan KPK mengumumkan nama pelanggar etik tersebut maka figur terkait dapat mengikuti seleksi pimpinan KPK dan dinyatakan lulus hingga tahap ini.
Padahal, semestinya Pansel Capim KPK mengetahui informasi itu dan tidak meluluskan figur bermasalah tersebut. Apalagi berdasarkan Pasal 29 UU KPK, syarat menjadi pimpinan KPK adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela, memiliki integritas moral yang tinggi, dan reputasi yang baik. Lalu apa yang menyebabkan Pansel masih meluluskan nama-nama yang terbukti bermasalah dalam moralitas dan etika? Apakah disebabkan salah satu anggota Pansel juga pernah mengalami permasalahan etik?
Sebagai harapan bangsa, KPK mesti berbenah di tengah korupsi yang menjangkiti tatanan kehidupan berbangsa dan lembaga negara yang ada. Jika pimpinan KPK diisi figur-figur yang bermasalah dengan KPK, bukan tidak mungkin upaya pemberantasan korupsi akan kembali mengalami kematian.
Pemerintah juga berperan dalam menciptakan keadaan ini, dimana beberapa nama Capim KPK bermasalah lulus tahapan selanjutnya. Jika pemerintah dan Pansel punya niat baik, kenapa harus tertutup dan tidak mampu menjalankan kehendak undang-undang dalam menyeleksi Capim KPK.
Koalisi Masyarakat Sipil Menuntut:
1. Pemerintah dan Pansel untuk bersikap dan bertindak terbuka;
2. Pemerintah dan Pansel tidak menutup mata, telinga, dan hati nurani mereka dalam memilih Pimpinan KPK dengan tidak memilih mereka yang rekam jejaknya bermasalah dan tidak melapor LHKPN;
3. Pansel mengumumkan hasil ujian berdasarkan penilaian terbaik.
Koalisi Masyarakat Sipil
LBH JAKARTA, ICW, YLBHI, PUSaKO FH UNAND
Muji Kartika Rahayu, Roni Saputra, Tommy Albert Tobing