Hari Bhakti Adhyaksa atau yang bisa dikenal dengan hari lahir Kejaksaan Republik Indonesia diperingati pada 22 Juli setiap tahunnya. Tahun ini, dalam perayaan hari kelahirannya yang ke- 62 Kejaksaan Republik Indonesia mengusung tema “Kepastian Hukum, Humanis Menuju Pemulihan Ekonomi.”
Namun di sisi lain, kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Sisi Humanis Kejaksaan kerap ditampilkan secara parsial dan kepastian hukum yang didapat kerap berupa kepastian semu yang dilahirkan dari proses-proses yang melanggar hak atas peradilan yang jujur dan adil (Fair trial) seseorang yang sedang berhadapan dengan hukum.
Untuk itu, memperingati Hari Bhakti Adhyaksa 2022, LBH Jakarta hendak memberikan refleksi dan catatan kritis terkait situasi faktual seputar permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di Lembaga Kejaksaan RI. Adapun catatan tersebut sebagai berikut :
Kejaksaan Belum Betul-Betul Menjadi Pengendali Perkara (Dominus Litis)
Lembaga Kejaksaan sebagai salah satu bagian dalam sistem peradilan pidana seyogyanya berperan aktif dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakan hak asasi manusia. Terlebih, dalam fungsi dan kedudukannya yang khas, sebagai pengendali suatu perkara (dominus litis) dalam proses peradilan pidana, sehingga sudah seharusnya Penyidikan Perkara Pidana harus berada dalam Pengawasan dan Pengendalian penuh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagaimana wewenang JPU yang diatur dalam Pasal 14 KUHAP.
Dalam kurun waktu 2016-2022, LBH Jakarta mendampingi 11 kasus dugaan salah tangkap kepolisian di wilayah Jabodetabek. Selain itu, Kejaksaan juga kerap abai dan permisif terhadap penyidikan kasus-kasus yang sarat akan penggunaan pasal-pasal yang dipaksakan (kriminalisasi), seperti dalam kasus kriminalisasi Jumhur Hidayat atau Kriminalisasi terhadap 3 nelayan Pulau Pari. Ironisnya, kasus-kasus tersebut diproses lebih lanjut oleh Kejaksaan dalam tingkat penuntutan tanpa melakukan identifikasi pelanggaran hak dan prosedur yang melekat dalam tahapan penyidikan. Pola-pola yang demikian menampilkan kecenderungan kejaksaan yang hanya sekedar melanjutkan berkas perkara yang disusun oleh penyidik untuk dijadikan dasar penuntutan di muka persidangan. Layaknya ‘kurir’, Jaksa seperti hanya mengantar ‘paket’ dari Penyidik untuk diberikan kepada Hakim di persidangan.
Kejaksaan Tidak Sepenuhnya Memegang Teguh Prinsip-prinsip Fair Trial
Kejaksaan dalam tugasnya sebagai Penuntut Umum sering kali melakukan pelanggaran fair trial. Salah satunya adalah hak atas informasi perkara yang menyebabkan sulitnya akses untuk memperoleh informasi dan salinan berkas perkara berkaitan dengan kepentingan pembelaan seorang yang sedang berhadapan dengan hukum.
Dalam beberapa perkara yang didampingi oleh LBH Jakarta, menemukan fenomena Jaksa yang tidak memberikan berkas perkara secara sukarela kepada terdakwa dan/atau kuasanya sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 143 KUHAP. Setidaknya, dalam kurun waktu 2019-2022 tercatat 9 kasus dimana Jaksa tidak memberikan berkas perkara sebagaimana kewajibannya dalam KUHAP pada saat bersamaan dengan pelimpahan perkara ke Pengadilan Negeri.
Selain itu, LBH Jakarta menemukan fakta Jaksa yang tidak serius melakukan pembuktian dalam dugaan penyiksaan terhadap terdakwa. Dalam beberapa kasus yang ditangani LBH Jakarta, contohnya kasus dengan dugaan penyiksaan yang dialami oleh 4 orang pemuda di Bekasi yang dituduh melakukan pencurian dengan kekerasan. Jaksa menunjukan keengganannya untuk mencari kebenaran materiil terkait benar atau tidaknya terjadi penyiksaan dalam proses penyidikan dengan hanya mendatangkan saksi verbalisan yang sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan pembuktian terkait terjadi atau tidaknya penyiksaan karena dinilai memiliki konflik kepentingan dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA).
- Baca juga: “Ibu Sumarsih (Orang Tua Wawan) Ibu Ho Kim Ngo (Orang Tua Nyunhap) Ajukan Kasasi Ke Mahkamah Agung “
Posisi Jaksa Agung Sebagai Jabatan Politik
Posisi Jaksa Agung tentunya merupakan posisi strategis yang memainkan peranan besar dalam menegakan supremasi hukum dan HAM melalui institusi Kejaksaan. Namun, posisi tersebut belakangan tak lepas dari anasir-anasir politis, khususnya dalam proses penunjukannya.
Penunjukan Jaksa Agung HM Prasetyo pada 2014 lalu memperlihatkan bagaimana politisnya posisi tersebut. Sebelum menduduki posisi Jaksa Agung, HM Prasetyo merupakan politisi dari Partai Nasional Demokrat dan anggota DPR RI periode 2014-2019. Begitu pula dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin, banyak pihak yang menyatakan bahwa penunjukannya sebagai Jaksa Agung tak lepas dari hubungan sedarahnya dengan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), TB. Hasanuddin. Kondisi-kondisi demikian bukan tanpa masalah. Konflik kepentingan yang berbasis hasrat politik jangka pendek tentunya akan menghambat Kejaksaan dalam menjalankan mandat mulianya untuk menegakan supremasi hukum dan HAM.
kedepan LBH Jakarta menilai Presiden dan DPR RI harus memastikan Kejaksaan Agung dipimpin oleh sosok yang bebas dari kepentingan politik serta memiliki integritas dan rekam jejak yang jelas dalam penegakan dan pembaharuan hukum serta pemajuan HAM.
Jaksa Masih Terjebak dalam Pusaran Praktik-Praktik Korupsi Peradilan
Masih segar dalam ingatan publik bagaimana pejabat-pejabat pada 2 institusi penegak hukum, yakni Kejaksaan dan Kepolisian melakukan kolaborasi kotor untuk menghapus red notice terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali, Djoko Tjandra. Kasus tersebut sebenarnya hanya secuil cerita dari jamaknya keterlibatan Jaksa dalam praktik kotor korupsi peradilan.
Bertambah dan berlanjutnya kasus-kasus korupsi peradilan yang melibatkan Jaksa dari tahun ke tahun menunjukan ketiadaan upaya serius dan sistematis untuk memotong mata rantai dan akar keterlibatan Jaksa dalam pusaran korupsi peradilan.
Kejaksaan RI Masih Minim Perspektif Perlindungan Khusus bagi Anak Berhadapan Hukum
Penanganan perkara pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku tentunya dipisahkan dari prosedur umum peradilan pidana sebagaimana diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Berdasarkan pe pengalaman pendampingan yang dilakukan oleh LBH Jakarta terhadap Anak Berhadapan Hukum, kerap ditemukan fenomena ketidakseriusan Jaksa untuk menerapkan perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan khusus.
Dalam kasus seorang ABH yang ditangkap dan diproses hukum karena kedapatan membawa pisau lipat dalam aksi demonstrasi 11 April 2022. Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut enggan mengambil langkah penyelesaian di luar hukum pidana (keadilan restoratif) dalam bentuk diversi. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan semangat keadilan restoratif yang sedang gencar-gencarnya digaungkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin belakangan ini. Selain itu, praktik-praktik kotor penahanan berkedok penitipan terhadap ABH yang kerap dilakukan penyidik untuk menyiasati limitasi waktu penahanan dalam UU SPPA, justru dibiarkan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Kejaksaan RI Belum Mampu Menuntaskan Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat & Cenderung Menjadi Alat Impunitas
Kejaksaan RI selain memiliki wewenang melakukan penuntutan dalam perkara tindak pidana, juga memiliki kewenangan sebagai penyidik dalam perkara pelanggaran HAM berat. Hal tersebut merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Namun faktanya, Kejaksaan Agung RI justru hanya menjadi sarana impunitas bagi para pelaku pelanggar HAM berat dengan mengembalikan berkas perkara yang telah dilimpahkan oleh Komnas HAM sebagai Penyelidik dengan alasan tidak memenuhi persyaratan formil dan materiil untuk kelengkapan berkas perkara. Padahal sebagaimana tugas penyidik yang telah disebutkan diatas Kejaksaan Agung lah yang seharusnya mencari bukti guna membuat terang suatu tindakan pelanggaran HAM.
Adapun beberapa kasus tersebut adalah sebagai berikut :
- Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, yang sejak peristiwa tersebut terjadi pada 1998 berkas perkara selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM;
- Kasus Paniai, baru menetapkan satu orang tersangka yang hanya merupakan aktor lapangan.
Hal lain yang menjadi ironis dalam penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat oleh Kejaksaan Agung adalah pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin pada 16 Januari 2020 yang menyatakan bahwa kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
LBH Jakarta menilai, beberapa contoh kasus di atas, memperlihatkan bahwa Kejaksaan belum menjadi harapan bagi para korban/keluarga pelanggaran HAM untuk mendapatkan akses terhadap keadilan.
Tidak Efektifnya Fungsi Pengawasan Eksternal Kejaksaan RI
Laporan terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan Jaksa kepada lembaga pengawasan eksternal Kejaksaan RI merupakan salah satu bagian dari langkah advokasi yang kerap dilakukan oleh LBH Jakarta maupun organisasi masyarakat sipil lainnya. Namun hal tersebut tidak gayung bersambut dengan lembaga pengawas eksternal Kejaksaan RI, yakni Komisi Kejaksaan RI.
Dalam pengalaman LBH Jakarta, laporan/pengaduan yang diajukan kepada Komisi Kejaksaan RI terkait pelanggaran hukum atau pedoman perilaku Jaksa hanya sekedar ditindaklanjuti Komisi Kejaksaan RI dengan meneruskan laporan/pengaduan tersebut kepada satuan wilayah Kejaksaan tempat terlapor bertugas tanpa pemeriksaan mandiri oleh Komisi Kejaksaan RI. Hal tersebut menunjukan bahwa Komisi Kejaksaan RI tak ubahnya hanya ‘kotak surat’ bagi satuan wilayah Kejaksaan tempat terlapor bertugas.
Berdasarkan fakta-fakta hukum dan permasalahan diatas, LBH Jakarta mendesak agar:
- Jaksa Agung memaksimalkan fungsi Jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis) dalam melakukan pengawasan horizontal yang efektif dan serius terhadap penyidik;
- Jaksa Agung mengambil kebijakan konkret mengenai pengembangan dan penguatan pemahaman Jaksa Penuntut Umum terhadap aspek-aspek hak atas peradilan yang jujur dan adil maupun aspek perlindungan khusus bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Serta mengambil tindakan tegas terhadap pelanggarannya;
- Presiden dan DPR melakukan evaluasi terhadap posisi penuntut umum dalam sistem peradilan pidana, serta menempatkan agenda penguatan fungsi Jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang menjunjung tinggi hak atas peradilan yang adil dan jujur (fair trial);
- Presiden RI berkomitmen meletakan posisi Jaksa Agung sebagai posisi mandiri tanpa intervensi politik dalam penunjukannya dengan memastikan Jaksa Agung bebas dari kepentingan politik tertentu serta memiliki integritas dan rekam jejak yang jelas dalam penegakan dan pembaharuan hukum serta pemajuan HAM, dengan membentuk Panitia Seleksi yang melibatkan partisipasi ahli dan masyarakat sipil, serta membangun mekanisme seleksi yang transparan dan uji publik yang berkelanjutan;
- Presiden RI melakukan penguatan fungsi dan wewenang lembaga pengawas eksternal Kejaksaan RI dengan menambah wewenang penindakan terhadap pelanggaran hukum acara dan pelanggaran etik dan pedoman perilaku jaksa;
- Jaksa Agung berkomitmen menyelesaikan seluruh kasus-kasus pelanggaran HAM berat dengan menjunjung tinggi aspek kebenaran, keadilan, dan jaminan ketidakberulangan.
Jakarta, 22 Juli 2022
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
- Fadhil Alfathan ([email protected])
- Teo Reffelsen ([email protected])
- Charlie Albajili ([email protected])
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.