Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa menuturkan, sebagai salah satu lembaga yang diundang dalam peringatan hari Hak Asasi Manusia ke-67 di Istana Negara, pihaknya menolak menghadari undangan tersebut.
“Kami sudah memperingati hari HAM kemarin pada 10 Desember bersama korban-korban pelanggaran HAM di depan Istana. Namun justru kami diusir polisi,” katanya.
Alghif menjelaskan, LBH Jakarta akan terus setia berada di samping korban pelanggaran HAM dalam situasi dan kondisi apapun. Pihaknya merasa tidak perlu dan tidak pantas menghadiri undangan presiden, karena prinsipnya, presiden sudah tidak mau mendengarkan suara korban dan menunjukkan ketidaksungguhan memenuhi hak asasi warga negara.
Dia bahkan telah menyampaikan surat kepada presiden, terkait penolakan hadir dalam peringatan hari HAM di Istana Negara. “Kami menyarankan kepada presiden untuk membuka telinga dan mendengar suara korban, untuk merefleksikan, apakah warganya telah terpenuhi hak asasinya. Bukan sekadar menggelar acara seremonial belaka, yang tidak memberi dampak kepada korban,” tandasnya.
Pengacara Publik LBH Jakarta, Ichsan Zikry menambahkan, pihaknya sebagai lembaga yang tergabung dalam Koalisi Peringatan Hari HAM juga mengungkapkan kekecewaan atas sikap Presiden Jokowi yang tidak kunjung menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
“Sudah 423 kali aksi diam Kamisan digelar di depan Istana, dan hampir 9 tahun lamanya kami menyuarakan pelanggaran HAM di depan Istana, tidak sekali pun presiden mendengarkan suara korban,” katanya.
Kini situasi semakin memburuk, lantaran pada aksi Kamisan memperingati Hari HAM, para pegiat HAM dipaksa menjauh dari istana, karena adanya Pergub DKIJakarta no. 228 tahun 2015 tentang pengendalian pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum.
“Menjauhkan aksi kamisan dari istana adalah simbol, negara menginginkan suara para korban semakin jauh dan akhirnya tidak terdengar,” tandasnya.
Sebelumnya, peringatan Hari HAM se-Dunia diselenggarakan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (11/12). Dalam sambutannya, Presiden Joko Widodo mengakui masih banyak masalah HAM di Indonesia.
Dia mengatakan, semua pihak harus menghentikan kekerasan dan kriminalisasi pada kebebasan ekspresi dan terciptanya demonstrasi damai. Khusus aksi demo, Jokowi mengingatkan para demonstran, pemerintah tidak mengekang penyampaian pendapat di Istana Negara.
“Saya juga mengingatkan demonstrasi itu ada aturannya. Jadi misalnya jarak antara istana. Jangan dipikir kami mengekang kebebasan demonstrasi, tidak,” ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, demonstran harus berada di sisi Selatan Istana atau seberang jalan raya, tidak dekat pintu istana. Namun banyak aksi demonstrasi yang ingin aksi di depan pagar. Bahkan tak jarang, aksi-aksi itu berakhir ricuh.
Jokowi menekankan, semua itu sudah diatur, termasuk Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 228 tahun 2015. “Itu ada aturannya. Ditambah lagi pada Pergub DKI, itu juga mengacu pada undang-undang di atasnya,” ujar Jokowi. (rmol.co)