Pers Rilis No. 1946/SK-RILIS/X/2016
Sebagai makhluk sosial dan hidup dalam budaya ketimuran, tentu kita akrab dengan budaya gotong royong atau tolong menolong. Namun apa jadinya apabila upaya menolong sesama tersebut dianggap sebagai suatu kejahatan?
Herman (35 tahun) seorang buruh harian lepas, pada akhir bulan Mei 2016, didatangi oleh temannya, Ariyanto. Dalam kondisi terlilit hutang, Ariyanto berniat meminjam uang sejumlah 3 juta rupiah kepada Herman dengan menggadaikan sebuah Motor milik saudara kandungnya, Suhandi. Ariyanto memastikan bahwa motor tersebut “bersih, rapih” atau bukan hasil curian. Ariyanto berjanji dalam waktu 3 minggu. Dengan modal percaya, Herman pun setuju memberikan pinjaman kepada Ariyanto.
Rupanya, Suhandi kaget mengetahui motornya sudah tidak ada di teras rumah. Ia tidak mengetahui bahwa motornya digadaikan Ariyanto kepada Herman. Karena merasa motornya hilang ia pun segera membuat laporan kehilangan motor di Polres Kota Tangerang. Ternyata, setelah Polisi melakukan Penelusuran, diketahuilah Motor tersebut diambil oleh Adiknya Sendiri yaitu Ariyanto. Ariyanto pun ditangkap, selanjutnya pada 3 Juni 2016, Herman juga ditangkap pihak Kepolisian.
Mengetahui Ariyanto yang mengambil motor tersebut, Suhandi pun kaget dan bingung karena tidak menyangka terjadi demikian. Ia telah berusaha menghentikan perkara dengan mencabut laporan tersebut, akan tetapi Polisi menolaknya. Polisi menyampaikan bahwa laporan semacam ini tidak bisa dicabut karena kasus Ariyanto pun telah final dan saat ini diputus bersalah melakukan pencurian sesuai Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain itu, Penyidik juga mengatakan bahwa berkas kasus Herman telah dilimpahkan ke kejaksaan, namun tidak ada bukti pelimpahan. Bahkan Penyidik secara eksplisit meminta uang kepada saudara Herman dengan dalih biaya adminisrasi perkara yang telah dilimpahkan kepada Kejaksaan dan upaya membantu Herman terlepas dari jerat pidana.
“Kami menduga telah terjadi Peradilan sesat dan rekayasa penyidik. Kami melihat ada beberapa keganjalan terjadi diantaranya: (1) Semestinya jenis pencurian semacam ini (yang dilakukan oleh Ariyanto) masuk ke dalam kategori pencurian dalam keluarga sesuai Pasal 367 KUHP, bukan pencurian biasa yang tertuang dalam Pasal 362 / Pasal 363 KUHP; (2) Pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan, artinya harus ada pengaduan dari korban yang mengalami kerugian. Jika tidak ada/pengaduan ditarik, maka kasus tidak akan dilanjutkan. Nyatanya, Polres Tangerang tidak menggubris keinginan korban; (3) Kasusnya tetap dilanjutkan bahkan menarik pihak yang tidak bersalah, yaitu Herman; dan (4) Dugaan upaya transaksi kasus yang dilakukan oleh oknum Polisi terhadap keluarga Herman” ungkap Bunga M.R Siagian, Pengacara Publik LBH Jakarta.
Lebih lanjut kuasa hukum Herman tersebut menyampaikan, “Keganjalan tersebut menunjukkan adanya dugaan kriminalisasi yang kuat yang dilakukan oleh Polres Kota Tangerang dan diaminkan oleh Kejaksaan. Kami berharap Hakim yang saat ini memeriksa Herman tidak terjebak pada pemahaman yang salah tersebut. “ Lanjut Bunga.
Kasus Herman saat ini sudah diproses hingga pemeriksaan di persidangan. Dalam persidangan sebelumnya, Kamis (29/9) Jaksa Penuntut Umum telah menghadirkan saksi-saksi, diantaranya Ariyanto (yang melakukan gadai), Suwandi dan Latifa (pemilik motor). Dalam pemeriksaan tersebut, terbongkar bahwa Suwandi, sebagai korban, tidak ingin memenjarakan adiknya dan jelas berniat menghentikan perkaranya. Namun, ditolak oleh pihak Kepolisian.
LBH Jakarta berharap Majelis Hakim yang memeriksa perkara Herman dapat melihat permasalahan secara objektif dan mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Seperti sebuah adagium “Dormiunt Aliquando Leges, Nunquam Moriontur (Hukum Terkadang Tidur, Tapi Hukum Hukum Tidak Pernah Mati)”
Selasa, 4 Oktober 2016
Hormat kami,
LBH JAKARTA
Narahubung: Bunga Siagian (08567028934)