Siaran Pers International Women’s Day 2021
Setiap 2 jam sebanyak 3 perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual. Di sektor ketenagakerjaan, tercatat buruh perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Begitu pula perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang hak-haknya terus dikebiri oleh majikan sebagai pemberi kerja, mulai tidak diberi upah, waktu istirahat yang minim hingga kerap mengalami penyiksaan adalah fakta yang terjadi. Selain itu, perempuan-perempuan petani juga harus kehilangan mata pencaharian karena tanah-tanah yang digunakan untuk bertani dirampas paksa pemodal dengan mengatasnamakan kepentingan pembangunan.
Sederet fakta penindasan terhadap perempuan tersebut mirisnya masih terjadi hingga hari ini, Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) yang dirayakan oleh warga dunia sejak 8 Maret 1907. Perbaikan kondisi ideal pelindungan terhadap perempuan masih jauh dari harapan. Negara yang diberikan sederet kewenangan untuk membuat kebijakan guna melindungi perempuan justeru tidak menjalankan perannya secara optimal, sehingga mengakibatkan setiap tahun angka Tindakan yang merendahkan martabat perempuan terus melonjak.
Berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sepanjang 2011-2019 sebanyak 46.698 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan, data terbaru yang diperoleh dari Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan 2021, tercatat sebanyak 299.911 perempuan terjadi sepanjang 2020 lalu. Angka kekerasan seksual yang terus meningkat setiap tahunnya tidak dibarengi dengan upaya perlindungan dari negara. Alih-alih membuat produk legislasi untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) terus mengalami tarik-ulur untuk dibahas Pemerintah dan DPR RI. Pelindungan terhadap perempuan oleh negara melalui aturan hukum terus terkatung-katung hingga saat ini.
Alih-alih memberikan perlindungan yang konkrit terhadap perempuan, Negara justru semakin memperlihatkan ketidakberpihakannya terhadap perempuan ketika para perempuan sebagai korban kekerasan kesulitan mencari perlindungan dari aparat penegak hukum. Tak sedikit kasus-kasus yang dilaporkan kepada kepolisian ditolak dengan alasan tidak terdapat cukup bukti atau yang lebih parahnya lagi polisi justru menyalahkan korban atas hal yang menimpa dirinya. Pada Catahu Komnas Perempuan 2021, tercatat kekerasan terhadap istri sebanyak 3.221 kasus. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa hanya 31% kekerasan di ranah personal yang diselesaikan secara hukum, hal ini selaras dengan kenyataan bahwa pihak berwenang sering kali menolak aduan para korban kekerasan yang terjadi di ranah personal dan kerap merekomendasikan korban untuk menyelesaikan masalahnya secara kekeluargaan. Pada kasus yang tidak ditolak kepolisian, tak sedikit pula dalam penanganannya dilakukan secara berlarut-larut (undue delay). Kekerasan seksual yang terjadi dalam ranah pacaran pun masih sering ditolak dengan alasan bahwa relasi pacaran merupakan legitimasi bahwa segala sesuatu yang terjadi pada korban dan pelaku adalah hubungan yang konsensual. Perlakuan aparat penegak hukum terhadap pengaduan-pengaduan kekerasan tersebut menjadi bukti bahwa terwujudnya perlindungan terhadap perempuan oleh negara harus terus diperjuangkan.
Penindasan terhadap perempuan juga terjadi di sektor pekerja domestik. Pekerja rumah tangga (PRT) yang didominasi sebagian besar oleh perempuan, hak-haknya terus dirampas ketidakhadiran negara. Berdasarkan data yang dihimpun dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), dalam rentang waktu 2018-2020 tercatat 1458 kasus kekerasan terhadap PRT. Adapun bentuk kekerasan yang dialami oleh PRT berupa kekerasan psikis, fisik, ekonomi hingga upah dan THR yang tidak bayar. Perlu diketahui, PRT merupakan sektor tenaga kerja yang tidak sama sekali dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003). Hubungan antara PRT dengan ‘majikan’ yang terlanjur timpang karena tak tersentuh aturan hukum, membuat marak terjadinya praktik eksploitasi yang mengakibatkan hak-hak PRT tidak terpenuhi. Padahal sudah sejak 2006 Jala PRT bersama masyarakat sipil telah melakukan advokasi untuk mendorong negara membuat kebijakan perlindungan PRT, salah satunya menuntut agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) untuk segera dibahas dan sahkan. Sama seperti RUU PKS, RUU PPRT bahkan tidak disentuh oleh Pemerintah dan DPR RI. Lagi-lagi negara bungkam dan abai melihat realitas kekerasan dan pelanggaran hak terhadap PRT terutama perempuan.
Negara yang saat ini ditunggangi oligarki semakin mengabaikan upaya perlindungan terhadap perempuan. Contoh nyata bahwa negara telah abai dan memilih melindungi oligarki adalah dengan memaksakan diri untuk membahas sekaligus mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Masalah baru justru timbul dari disahkannya omnibus law UU Cipta Kerja, seperti dihapuskannya ketentuan batas waktu dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sebagaimana yang sebelumnya terdapat pembatasan dalam UU 13/2003. Konsekuensi logis dari berlakunya ketentuan tersebut ialah akan semakin membuat buruh perempuan dengan PKWT tidak terjamin masa depannya karena pemodal sewaktu-waktu dapat memutus hubungan kerja sepihak.
Melihat situasi riil bahwa perempuan terus menjadi korban penindasan dan diabaikan oleh negara sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka sudah saatnya perempuan melakukan konsolidasi untuk melawan rezim oligarki. Konsolidasi tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan momentum IWD untuk ‘memukul gong’ dan berikrar seia-sekata meneguhkan kembali semangat perjuangan perempuan. Atas dasar itu, tanpa mengabaikan situasi pandemi COVID-19 dan dengan memperhatikan penerapan protokol kesehatan, pada peringatan IWD yang jatuh pada Senin 8 Maret 2021 ini kami menuntut:
- Segera bahas dan sahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan
- Segera bahas dan sahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
- Cabut Omnibuslaw UU 11/2020 Cipta Kerja yang berdampak buruk terhadap lingkungan, buruh perempuan, perempuan nelayan dan perempuan petani.
- Negara harus secepatnya membuat kebijakan penanganan pandemi COVID-19 yang berkeadilan bagi seluruh kelompok minoritas – rentan termasuk perempuan.