Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kehidupan bernegara dan pemenuhan Hak Asasi Manusia warga negara. Hal tersebut karena banyaknya kasus kekerasan, pemerasan, pelecehan seksual, tidak jelasnya rekrutmen, menghabiskan anggaran yang sangat besar, materi pendidikan jelas dan militeristik, serta berbagai permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia telah melekat dan tidak bisa dipisahkan lagi pada diri Satpol PP. Tidak salah jika kita bisa menyimpulkan bahwa keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan sebuah tumor yang akan berbahaya jika terus dibiarkan.
Sejarah Satpol PP
Satpol PP telah ada semenjak jaman penjajahan. Pada 1620, setahun setelah VOS menduduki Batavia, Gubernur Jendral VOC membentuk BAILLUW, yaitu semacam Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas untuk menangani perselisihan hukum yang timbul antara VOS dengan warga kota. Selain itu tugas utama BAILLUW adalah menjaga ketertiban dan ketentraman warga kota[2]. Organisasi kepolisian colonial kemudian dikembangkan menjadi: pertama Polisi Pangreh Praja (Bestuurpolitie), yang ditempatkan menjadi bagian dari pemerintahan pribumi yang didukung oleh kepala-kepala desa, para penjaga malam dan agen-agen polisi yang dipertbantukan pada pejabat-pejabat pamongpraja. Kedua, Polisi Umum (Algemeene Politie) yang merupakan kesatuan khusus dan berfungsi menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepolisian. Ketiga Polisi Bersenjata (Gewapende Politie)[3]. Kelahiran organisasi kepolisian ini tidak lain adalah demi langgengnya kekuasaan penjajah Belanda. Istilah polisi sendiri berasal dari bahasa Belanda politie yang mengambil dari bahasa Latin politia berasal dari kata Yunani politeia yang berarti warga kota atau pemerintahan kota[4].
Pada zaman Pasca Kemerdekaan dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1946, wewenang Kepolisian Pangreh Praja sebagai penanggungjawab kepolisian berkurang. Kekuasaan tertentu diserahkan kepada Kepolisian. Kemudian pada Oktober 1948 Satpol PP didirikan di Yogyakarta dengan dasar Surat Perintah Kepala Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta No 1/1948 tanggal 30 Oktober 1948 tentang Detasemen Polisi. Setelah itu, Satpol PP resmi dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. UR32/2/21/1950. Adapun nama Satpol PP ketika itu adalah Detasemen Polisi Pamong Praja, hanya dibentuk di wilayah Jawa dan Madura. Pembentukan Satpol PP di Jakarta Raya dipertegas dengan Permendagri No. 2 Tahun 1961 tangal 10 Maret 1961 tentang Pembentukan Polisi Pamong Praja di Daerah Tingkat I Jakarta Raya.
Satpol PP di luar Jawa dan Madura baru kemudian dibentuk pada tanggal 30 November 1960 dengan dasar hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 7 Tahun 1960. Pembentukan Kesatuan Polisi Pamong Praja Kalteng, Sumut, Kalsel, Jambi, Riau, Aceh dan Sumbar dipertegas dengan Permendagri No. 7 Tahun 1961 tanggal 12 Juli 1961.
Kedudukan, Fungsi, dan Kewenganan Satpol PP
Eksistensi Satpol PP diatur dalam Pasal 148 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan Satpol PP dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Satpol PP berada dibawah kepala daerah dan Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan Pasal 4 PP No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, Satpol PP menyelenggarakan fungsi:
a) Penyusunan program dan pelaksanaan ketenteraman dan ketertiban umum, penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah;
b) Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di Daerah;
c) Pelaksanaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah;
d) Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah dengan aparat Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau aparatur lainnya;
e) Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan menaati Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
Pedoman ini memberikan batasan mengenai kewenangan satpol PP sebagai berikut:
a) Menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum;
b) Melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah dan keputusan kepala daerah;
c) Melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
Dari kewenangan diatas, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan represi non yustisial.
Dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, berdasarkan Pasal 7 PP 32 Tahun 2004, Satpol PP memiliki kewajiban:
a) Menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang dimasyarakat;
b) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum;
c) Melaporkan kepada kepolisian negara atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana;
d) Menyerahkan kepada ppns atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
Berdasarkan Pasal 4 Permendagri No. 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, Satpol PP memiliki 6 tugas khusus dan memiliki prosedur operasional, yaitu:
- Ketenteraman dan ketertiban umum;
- Pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa;
- Pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting;
- Pelaksanaan tempat-tempat penting;
- Pelaksanaan operasional patroli;
- Operasional penyelesaian kasus pelanggaran ketentraman, ketertiban umum dan peraturan daerah.
Otonomi daerah yang sangat luas dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 yang telah direvisi oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memiliki dampak Satpol PP memiliki peranan yang sangat besar dalam roda pemerintahan daerah. Daerah berpacu untuk melaksanakan pembangunan karena urusan pusat menurut Pasal 10 ayat (3) hanya meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama, serta kewenangan lain yang ditentukan UU. Satpol PP akhirnya dijadikan instrument garis depan untuk penegakan perda, pengawal pembangunan, dan seakan-akan Pemda merasa memiliki kepolisian sendiri dan menafikan eksistensi kepolisian.
Satpol PP Harus Dibubarkan, Negara Harus Bebas dari Satpol PP
Banyak pihak yang pro dan kontra mengenai pembubaran Satpol PP karena sebagian orang merasakan perlunya keberadaan Satpol PP untuk ketentraman dan ketertiban, namun menurut penulis pembubaran Satpol PP merupakan suatu keharusan karena berbagai alasan sebagai berikut:
1) Kekerasan
Korban kekerasan Satpol PP sebagian besar berasal dari warga miskin. Tindak kekerasan Satpol PP sering terjadi di setiap penggusuran atau operasi penertiban. Menurut pendataan Jakarta Centre for Street Children (2008), di tahun 2007 angka kekerasan yang dilakukan Satpol PP di Jakarta sebesar 66,1%. Korban mengalami kekerasan secara fisik, mulai dari ditangkap dan ditahan sewenang-wenang, ditendang, diseret, disundut rokok, dijambak, digunduli, dicekik, diinjak, dipukul, mendapatkan kekerasan seksual, dipaksa telanjang, sampai ada yang dibunuh. Contoh kasus antara lain pada bulan Maret 2010, tiga anak meninggal dunia akibat keganasan Satpol PP saat operasi penertiban. Pada Januari 2008, tiga pelajar SMK di Balige meninggal karena lari ketakutan hingga terperosok ke jurang, empat korban lainnya harus dirawat intensif di rumah sakit. Kemudian pada waktu yang hampir bersamaan di Jakarta, sembilan Satpol PP menganiaya anak berusia empatbelas tahun bernama Irfan Maulana hingga meninggal dunia, pada Desember 2007, Elly Susana, meninggal dunia secara tragis setelah ia dianiaya, diceburkan, dan tenggelam terbawa arus air di kali Cisadane dekat Taman Lawang. Terakhir adalah Tragedi Koja pada tanggal 14 April 2010 lalu di Koja. Empat orang akhirnya tewas dan ratusan luka-luka. Komnasham kemudian melakukan penyelidikan dan mengatakan bahwa terjadi pelanggaran HAM dalam Tragedi Koja tersebut.
2) Penggusuran
Satpol PP merupakan aparat yang tampil terdepan dan merupakan aktor utama dalam penggusuran. Jumlah penggusuran di Jakarta dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data dari Aliansi Rakyat Miskin menyebutkan pada tahun 2007 saja korban penggusuran mencapai 12.288 orang miskin selama bulan September. Pada bulan Oktober mencapai 3.879 orang miskin. Sedangkan pada November mencapai 5.928 orang miskin. Penggusuran tersebut tentunya melanggar hak warga negara untuk mendapatkan perumahan dan pekerjaan yang layak sebagaimana telah diatur dalam UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
3) Pemborosan Anggaran
Untuk memperlancar kegiatannya Satpol PP menghabiskan tidak sedikit dana APBN dan APBD. Di DKI Jakarta anggaran pada 2005-2006 mencapai Rp. 144,9 milyar. Pada 2007 mengalami peningkatan tajam mencapai Rp 303,2. Jauh lebih besar dari alokasi anggaran untuk dinas pendidikan dasar yang hanya sebesar Rp 188 milyar. Bahkan lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan anggaran Puskesmas seluruh DKI yang hanya Rp 200 milyar, atau seluruh rumah sakit di DKI yang hanya Rp 122,4 milyar[5].
4) Impunitas dan Tidak Adanya Pengawasan
Jika berkaca kepada organisasi negara lain yang memiliki kewenangan melakukan upaya paksa selalu terdapat lembaga pengawas, baik internal maupun eksternal. Misalnya, Kejaksaan terdapat Jaksa Pengawas dan Komisi Kejaksaan, di Kepolisian terdapat Propam dan KOMPOLNAS, Mahkamah Agung memiliki Hakim Pengawas dan Komisi Yudisial. Namun berbeda dengan Satpol PP yang memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa tetapi tidak memiliki lembaga yang bertugas mengawasi bahkan seringkali terhadap Satpol PP tidak bisa dilakukan proses pidana ketika ada tindakan pidana dalam melaksanakan tugas. Pasca kejadian Koja, Satpol PP DKI Jakarta memiliki Provost tersendiri, namun tidak jelas bagaimana kinerja Provost tersebut.
5) Rekruitmen Tidak Jelas dan Pendidikan yang Militeristik
Mayoritas perekrutan Satpol PP tidaklah jelas, seharusnya terdapat seleksi anggota sama seperti seleksi PNS. Seringkali preman pengangguran yang kemudian menjadi personil Satpol PP dan mayoritas status hubungan kerja Satpol PP adalah Pekerja Tidak Tetap (PTT). Ketika diterima sebagai personil, anggota Satpol PP dididik dengan metode pelatihan yang militeristik layaknya militer. Hal tersebut menjadikan watak Satpol PP sangat militeristik dan gagal melakukan komunikasi atau pendekatan persuasive terhadap warga kota.
6) Satpol PP Sebagai Alat Kekuasaan.
Keberadaan Satpol PP yang sering menggusur warga miskin tak pelak menjadikan Satpol PP sebagai musuh warga miskin walaupun anggota Satpol PP sebagian besar merupakan bagian dari warga miskin. Satpol PP bahkan seringkali menjadi alat kekuasaan penguasa dengan menggunakan modeuspenegakkan peraturan daerah dan menciptakan ketentraman dan ketertiban untuk menggolkan kepentingan-kepentingan penguasa atau pengusaha, terutama kepentingan bisnis.
7) Bertentangan Dengan Konstitusi
Pasal 30 ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Hal tersebut dipertegas oleh Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian NRI menyatakan bahwaKepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pasal 148 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan Satpol PP dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Berdasarkan Pasal 4 PP No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, Satpol PP menyelenggarakan fungsi:
- Penyusunan program dan pelaksanaan ketenteraman dan ketertiban umum, penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah;
- Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di Daerah;
- Pelaksanaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah;
- Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah dengan aparat Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau aparatur lainnya;
- Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan menaati Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
Berdasarkan Pasal 1angka 5 UU No. 2 Tahun 2002, Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Sedangkan dalam Permendagri No. 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, Ketenteraman dan ketertiban umum adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib dan teratur.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kita dapat melihat telah terjadi tumpang tindih kewenangan antara Satpol PP dan Polri dalam hal ketentraman dan ketertiban umum. Hal tersebut diperkuat dengan fakta bahwa Satpol PP seringkali melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak melalui penyidik PPNS yang memang dibawah koordinasi kepolisian. Dari sudut perlengkapan pun Satpol PP sangat menyerupai kepolisian dengan adanya pakaian pelindung, helm, tongkat kayu dan karet, gas air mata, dan bahkan senjata api. Jika melihat sejarah kita bisa melihat bahwa pada awalnya pamong praja dan kepolisian merupakan satu kesatuan, namun semenjak adanya UU No. 1 Tahun 1946 wewenang Pangreh Praja sebagai penanggungjawab kepolisian berkurang. Berjalan waktu terjadi ketidakjelasan dan tumpang tindih wewenang, kepolisian bertanggungjawab kepada Presiden sedangkan Satpol PP bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri.
Penulis berpendapat bahwa eksistensi Satpol PP bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD NRI 1945 karena adanya tumpang tindih dan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) karena menimbulkan ketidapastian hukum sehingga Pasal 148 UU No. 32 Tahun 2004 yang menjadi dasar kedudukan Satpol PP dapat di review ke Mahkamah Konstitusi.
f. Mitos Ketertiban Umum
Adanya mind set yang meyakini bahwa Ketertiban Umum dapat dilakukan oleh Satpol PP dengan segala represifitasnya merupakan mitos yang telah tertanam semenjak zaman penjajahan Belanda. Pedagang Kaki Lima tidak akan pernah hilang selagi lapangan pekerjaan tidak ada walaupun puluhan kali ditangkap, “penghuni liar” tidak akan pernah hilang selagi hak atas perumahan tidak dipenuhi. Pemerintah seharusnya berkaca kepada Solo yang berhasil menata perumahan liar dan PKL-PKL nya dimana peran serta masyarakatlah yang akan menciptakan ketertiban umum bukanlah tindakan represif Satpol PP.
Adapun solusi dalam pembubaran Satpol PP penulis menawarkan sebagai berikut:
1) Solusi Kelembagaan dan Kepegawaian
Yaitu pegawai Satpol PP dialihkan ke dinas lain dibentuk dinas baru dengan fungsi yang baru yang lebih mengedepankan pemberdayaan masyarakat.
2) Solusi untuk Ketertiban Umum
Yang harus dilakukan adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Jika terdapat suatu tindak pidana dan upaya paksa maka serahkan kepada kepolisian ataupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang tetap berkoordinasi dengan kepolisian.
Adapun cita-cita mewujudkan negara yang bebas Satpol PP sejalan dengan cita-cita mewujudkan negara tanpa kekerasan, pemenuhan hak asasi warga negara, dan masyarakat yang mandiri. Jalan menuju cita-cita tersebut tentu tidak mudah karena watak kolonial sudah menjadi watak para pemimpin kita, bahkan watak orang-orang terdekat kita. Perlu terobosan besar dan keberanian untuk mewujudkan hal tersebut. Salam Perjuangan. Ya Basta !!!
[1] Disampaikan oleh Alghiffari Aqsa pada acara pelatihan Reformasi Sektor Keamanan yang diadakan oleh Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan (KOMPAK) pada 28 November 2010.
[2] Tim Imparsial, Quo Vadis Satpol PP di Era Reformasi, (Jakarta: Imparsial, 2009), hal. 3.
[3] Ali Subur dkk, Pergulatan Profesionalisme dan Watak Pretorian (Catatan Kontras terhadap Kepolisian), (Jakarta: Kontras, 2001), hal. 4.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Polisi
[5] Yani Sucipto dari Seknas Fitra dalam “Anggaran Trantib Dalam Perspektif Pro Poor Budget” 2007