Siaran Pers
Pada November 2019, ratusan buruh PT. Sulindafin, Tangerang mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Sepihak dengan dalih tutupnya perusahaan. Pada mulanya, PT. Sulindafin yang mengaku merugi mengumumkan akan melakukan penutupan produksi perusahaan dan menawarkan uang kompensasi yang tidak sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan. Perusahaan menutup ruang perundingan dan justru mempekerjakan kembali ex-karyawan tetap yang menerima kompensasi sebagai Buruh Harian Lepas (BHL). Ratusan buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu (SBGTS) dan Serikat Buruh Mandiri (SBM) PT. Sulindafin menolak menerima kompensasi dan meminta dipekerjakan kembali sebagai pegawai tetap sebab perusahaan tidak pernah benar-benar tutup. Sikap tersebut berujung pada PHK sepihak ratusan buruh secara diam-diam dengan diterbitkannya surat paklaring yang hingga kini masih disengketakan dalam Pengadilan Hubungan industrial.
Imbas dari PHK sepihak tersebut, layanan BPJS Kesehatan ratusan buruh PT. Sulindafin (termasuk yang menerima kompensasi) mengalami pemutusan sepihak. Dalam sistem e-dabu BPJS Kesehatan penonaktifan tercatat atas permintaan buruh, meski pada faktanya, BPJS Kesehatan membekukan layanan atas permintaan perusahaan yang mengaku tidak sanggup membayar iuran. Dampak penonaktfikan tersebut sangatlah serius. Puluhan keluarga buruh yang mengalami sakit parah tidak dapat mengakses fasilitas kesehatan karena tidak sanggup membayar biaya akibat di-PHK. Bahkan terdapat buruh dan kerabatnya yang meninggal dunia akibat buruknya penanganan kesehatan.
Dengan terkatung-katungnya penyelesaian hubungan industrial, buruh yang sangat membutuhkan layanan BPJS berupaya mengubah layanan menjadi mandiri, namun gagal dilakukan karena secara hukum karyawan masih merupakan pekerja PT. Sulindafin. Kini sudah hampir 8 (delapan) bulan 244 (dua ratus empat puluh empat) buruh PT. Sulindafin masih tidak dapat mengakses layanan kesehatan karena dibekukan. Peristiwa tersebut merupakan pelanggaran hukum serius yang dilakukan PT. Sulindafin maupun pelanggaran hak dasar warga negara atas kesehatan yang dilakukan negara melalui maladministrasi BPJS.
Berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 17 UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, perusahaan memiliki kewajiban mendaftarkan dan membayar bagian iuran jaminan sosial pekerjanya. Berdasarkan Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, PHK tidak sah tanpa penetapan dari PHI. PHK dengan alasan perusahaan pailit atau efisiensi juga tidak dapat dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan niaga yang menyatakan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011. Atas dasar tersebut, sejatinya buruh haruslah dipekerjakan kembali dan perusahaan tetap wajib melaksanakan kewajabannya.
Pun dalam hal PHK dilakukan berdasar, Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003 telah mengatur bahwa perusahaan tetap wajib melaksanakan kewajibannya sebelum adanya putusan peradilan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap. Ketentuan serupa ditegaskan pula dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres 82/2018) yang terakhir diubah melalui Perpres No. 64 Tahun 2020. Di dalam Pasal 27 diatur bahwa karyawan perusahaan yang mengalami PHK tetap memperoleh hak Manfaat Jaminan Kesehatan paling lama 6 (enam) bulan sejak di PHK, tanpa perlu membayar iuran dan selama belum ada putusan PHI yang berkekuatan hukum tetap, kewajiban tetap berada di perusahaan. Atas dasar tersebut, dalam hal ini PT. Sulindafin telah melanggar hukum karena mangkir dari kewajibannya membayar upah pekerja dan membayar iuran BPJS pekerja.
Problemnya dalam kasus buruh PT. Sulindafin, tidak hanya perusahaan yang melanggar hukum. BPJS Kesehatan Kota Tangerang dan Pengawas Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang juga patut diduga kuat melakukan maladministrasi. Pasalnya dalam Perpres 82/2018 telah ditegaskan bahwa petugas pemeriksa BPJS wajib melakukan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan. Dalam hal perusahaan tetap mangkir, BPJS Kesehatan wajib melaporkannya pada Pengawas Ketenagakerjaan atas pelanggaran hak normatif pekerja. Dalam kasus ini, kedua lembaga tersebut tidak menjalankan kewajiban meski buruh telah berulangkali melakukan desakan. Imbasnya selama berbulan-bulan buruh PT. Sulindafin tidak dapat mengakses BPJS Kesehatan dan mengalami kerugian.
Atas dasar tersebut, LBH Jakarta bersama dengan SBGTS Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) PT. Sulindafin menuntut:
- Sulindafin untuk melaksanakan kewajibannya membayar upah dan membayar iuran BPJS Kesehatan buruhnya selama belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht) berdasarkan ketentuan UU Ketenagakerjaan, UU SJSN, dan Perpres 82/2018;
- Sulindafin untuk mempekerjakan kembali buruh yang di PHK secara tidak sah dan melanggar ketentuan hukum;
- BPJS Kesehatan Kota Tangerang untuk membuka kembali layanan BPJS Kesehatan bagi para buruh PT. Sulindafin dan melakukan penegakan hukum terhadap PT. Sulindafin yang tidak membayarkan iuran BPJS;
- Pengawas Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang untuk menjalankan tugasnya mengawasi pelanggaran hak normatif yang dilakukan PT. Sulindafin dan memberikan sanksi hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan;
- Walikota Tangerang untuk memberikan perlindungan hukum kepada buruh PT. Sulindafin dan memastikan buruh mendapatkan jaminan sosial kesehatan yang merupakan hak setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan UU SJSN.
Jakarta, 13 Agustus 2020
Hormat Kami
LBH JAKARTA DAN SBGTS GSBI PT. SULINDAFIN