Nani Nurani adalah seorang wanita yang sedang berjuang melalui jalur hukum sejak tahun 2003 akibat dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965 dan disebut sebagai kader Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), bahkan tidak tanggung-tanggung, Nani Nurani difitnah mendapat rumah dari DN Aidit yang waktu itu sebagai Ketua Umum Partai Komunis Indonesia. Akibat tuduhan dan fitnah yang tidak berdasar itu, pada tanggal 23 Desember 1968, Nani Nurani ditangkap oleh Polisi Militer Cianjur dan dibawa ke Gedung Ampera Cianjur untuk interogasi selama 1 (satu) bulan. Kemudian pada tanggal 20 Januari 1969, Nani Nurani dipindahkan ke kantor CPM Bogor untuk kembali diinterogasi. Sedangkan pada tanggal 25 Januari 1969 dipindahkan ke kantor CPM Guntur, hingga akhirnya pada tanggal 29 Januari 1969, Nani Nurani diputuskan untuk menjalani penahanan di Penjara Wanita Bukitduri.
Pada tanggal 29 Maret 1976, berdasarkan Surat Perintah Kepala Teperda Jaya Laksus Pagkopkamtib Nomor 40/III/1976, Nani Nurani mendapat pembebasan penuh. Selama Nani Nurani ditangkap sejak 23 Desember 1968 hingga 29 Maret 1976, dirinya tidak tanpa pernah diperiksa dipersidangan dan tidak pernah diputus pengadilan yang menyatakan dirinya bersalah. Adanya penahanan tanpa adanya batas waktu, juga dialami oleh tahanan-tahanan lainnya di dalam Penjara Wanita Bukitduri.
Namun, pembebasan terhadap Nani Nurani masih dibayang-bayangi dengan perlakuan intimidatif dan diskriminatif oleh aparat negara. Hal tersebut diantaranya:
1. Pada tahun 1977, aparat dari Babinsa dan aparat Kelurahan Rawa Badak Utara yang meminta surat-surat berita acara sumpah, bahkan menuduh Nani sebagai pelarian Gerwani PKI. Hal ini dilakukan sekitar bulan Agustus 1977 ketika dirinya pindah rumah ke daerah Plumpang;
2. Pada tahun 1978, Kartu Tanda Penduduk Nani diberi tanda eks tahanan politik (ET). Selain itu bersama nama-nama lainnya Nani dimasukkan dalam daftar anggota Organisasi Terlarang (OT) oleh Kelurahan Rawa Badak, Kecamatan Koja, dan lain-lainnya;
3. Nani Nurani diminta Camat Koja, untuk melakukan wajib lapor setiap bulannya yang dilakukan setiap tanggal 2 di Kecamatan, dan setiap tanggal 18 di Kelurahan. Ini dilakukan sejak tahun 1984.
Atas perlakuan sewenang-sewenang dan diskriminatif negara terhadap Nani Nurani, pada tahun 2003, Nani mengajukan gugatan terhadap Pemerintah cq. Kecamatan Koja, Jakarta Utara di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN). Pada tahun yang sama, putusan PTUN mengabulkan gugatan Nani. Di dalam putusan PTUN tersebut, Nani Nurani tidak terbukti terlibat secara langsung atau tidak langsung sebagai anggota PKI atau golongan C. Bahkan, putusan PTUN menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum atas tindakannya yang sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap Nani Nurani. Lebih mendasar dari itu, putusan PTUN tersebut dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung nomor: 400K/TUN/2004.
Perjuangan Nani Nurani tidak berhenti di situ, pada tahun 2011 Nani mengajukan sendiri gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun majelis hakim dalam putusannya menyatakan bahwa gugatan Nani Nurani tidak dapat diterima. Atas putusan tersebut Nani Nurani mengajukan upaya hukum banding, tapi lagi-lagi, permohonan banding Nani tidak dapat diterima. Atas upaya hukum itu, Nani Nurani bersama tim advokasi korban stigma 65, pada tanggal 8 Maret 2013 mengajukan upaya hukum kasasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menyerahkan memori kasasi pada tanggal 22 Maret 2013 serta menerima relaas pemberitahuan penyerahan kontra memori kasasi yang diajukan oleh Jaksa Pengacara Negara.
Namun sampai dengan saat ini, Nani Nurani belum mendapat kepastian tentang perkembangan pemeriksaan perkara kasasinya, apakah sudah diperiksa dan diputus atau belum sama sekali diperiksa. Atas kondisi tersebut, pada tahun 2013 Nani bersama tim advokasi mengajukan pengaduan diantaranya register nomor perkara, tim majelis hakim, serta panitera yang memeriksa kasasi Nani. Namun, Ombudsman Republik Indonesia, tidak berani mempertanyakan permasalahan yang diadukan Nani dengan alasan bahwa perkara Nani sudah diproses hukum.
Perjuangan Nani Nurani tidak berhenti, pada tahun 2015 bersama tim advokasi, Nani mengajukan pengaduan ke Komisi Yudisial namun Komisi Yudisial tidak berwenang menerima permohonan Nani. Kemudian Nani bersama tim kembali mendatangi Ombudsman untuk mengadukan terkait adanya maladministrasi tentang lambannya pemeriksaan kasasi Nani Nurani oleh Mahkamah Agung. Bahkan, pada tanggal 13 Januari 2016, Nani dan tim advokasi mengajukan pendaftaran permohonan sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat atas tidak adanya informasi yang diterima Nani dan tim advokasi atas pekembangan kasasinya.
Adanya pengaduan yang disampaikan Nani dan tim advokasi ke beberapa lembaga negara bukan tanpa dasar, hal tersebut mengacu pada Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi: “Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 47, Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari” dan Pasal 48 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan panitera pada Mahkamah Agung memiliki kewajiban untuk mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung. Namun dalam praktiknya, amanat yang tercermin dalam Undang-undang sama sekali tidak dipatuhi. Selain hal tersebut, prinsip peradilan yang cepat, sederhana serta biaya murah dikhianati sendiri oleh institusi pengadilan. Dilain pihak, ketidakbecusan Mahkamah Agung sebagai institusi tertinggi pengadilan dalam menangani perkara kasasi Nani, mengakibatkan Nani Nurani yang sudah berusia lanjut harus terlantar tanpa kepastian hukum. Lebih mendasar dari itu, menjauhkan hak Nani Nurani untuk mendapatkan keadilan sebagaimana dijamin Konstitusi.
Berdasarkan uraian di atas, kami mendesak Mahkamah Agung untuk segera memeriksa, mengadili dan memutus perkara kasasi Nani Nurani secara fair dan imparsial.
Demikian rilis ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 2 Februari 2016
Hormat kami,
Tim Advokasi Nani Nurani
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta; Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat; Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM);
CP:
M. Afif Abdul Qoyim (081320049060)
Vero (08170941833)