Masukan Untuk MPR RI:
Hentikan Obstruction of Justice Terhadap Penyelesaian Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997 – 1998
Kami Koalisi Melawan Lupa yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil memandang penting kembali mendesak Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia [MPR RI] untuk mengambil langkah – langkah konstitusional dalam menyikapi pembangkangan hukum [obstruction of justice] yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyelesaikan kasus – kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk penyelesaian peristiwa penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998.
Penyelesain peristiwa pelanggaran HAM masa lalu merupakan amanat Reformasi, yang diantaranya telah dituangkan dalam Ketetapan MPR RI [TAP MPR] No V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. TAP MPR ini memandatkan upaya penegakan “kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau”. Setelah kebenaran diungkap maka “dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam bermasyarakat.”
Konstitusi mengatur secara ekspilisit Penyelesaian Pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk peristiwa penculikan dan penghilangan paksa dalam Pasal 28I [ayat] 4 mewajibkan pemenuhan HAM [akuntabilitas pelanggaran HAM] sebagai tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Pasal 28D ayat [1] mewajibkan negara untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di depan hukum; UU No 39 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Namun demikian 16 tahun Reformasi tidak mampu memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban. Dalam peristiwa penculikan dan penghilangan paksa, Presiden RI mengabaikan 4 [empat] rekomendasi DPR RI [2009] yang secara tegas telah merekomendasikan Presiden RI dan sejumlah institusi terkait untuk; 1] membentuk pengadilan HAM ad hoc, 2] melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang, 3] merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang, 4] meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa.
Presiden RI juga telah mengabaikan rekomendasi Ombudsman RI [ORI] yang berpendapat telah tejadi penundaan pelayanan berlarut-larut [undue delay] dalam penuntasan kasus Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, yang jelas merupakan bentuk perbuatan maladministrasi dan mengingkari prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Bahkan Presiden RI mengabaikan permintaan klarifikasi I dan II dari ORI mengenai langkah-langkah yang sudah dan akan ditempuh oleh Pemerintah dalam rangka penyelesaian kasus Penghilangan Orang Secara Paksa demi memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi korban. Presiden RI melalui melalui Menteri Sekretaris Negara [Mensesneg], Sudi Silalahi, melempar masalah ini kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan [Menko-Polhukam] untuk menjadi bahan kajian dan penanganan lebih lanjut sesuai dengan kewenangan yang berlaku, yang nyatanya hingga saat ini tidak ada langkah nyata apapun dari Menkopolhukam maupun dari Jaksa Agung.
Situasi diatas, harusnya dapat diselesaikan, jika ada niat dan kemauan politik Presiden RI, dan tidak ada niat terselubung Presiden RI untuk menutup keadilan atas kasus ini. Munculnya kandidat Presiden RI yang tersangkut peristiwa penculikan dan penghilangan paksa 1997 – 1998, dan munculnya pernyataan Mayjen Purn. Kivlan Zen “saya tahu tempat dimana 13 aktivis dibunuh dan dibuang…”, serta hasil sidang Dewan Kehormatan Perwira [DKP] Harusnya menjadi penguat bagi Presiden RI untuk menindaklanjuti rekomendasi DPR RI dan ORI, khususnya untuk membentuk Tim Pencarian 13 Korban yang masih hilang.
Berdasarkan pada hal – hal diatas, dan mengacu pada mandat dan kewenangan MPR dalam Keputusan MPR RI No 1/MPR/2010 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI, Pasal 22 ayat 2 bahwa “Pimpinan MPR berwenang: a. mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Presiden dan/atau pimpinan lembaga negara lainnya untuk memasyarakatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Presiden dan/atau pimpinan lembaga negara lainnya dalam rangka pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. mengundang pimpinan fraksi-fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota untuk mengadakan Rapat Gabungan; d. membentuk tim verifikasi persyaratan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Oleh karenanya, kami Koalisi Melawan Lupa Mendesak MPR RI untuk segera ;
Pertama, mengadakan konsultasi dan kordinasi dengan Presiden RI, Ketua DPR RI, Menkopolhukam, Ombudsman RI dan Komnas HAM untuk memastikan penyelesaian peristiwa penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998, dan semua kasus – kasus pelanggaran HAM berat masa lalu;
Kedua, mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Presiden RI, Ketua DPR RI, Menkopolhukam, Ombudmsman RI dan Komnas HAM atas perbuatan maladminsitrasi Presiden karena mengabaikan rekomendasi DPR;
Ketiga, mengadakan Konsultasi dan Koordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum RI untuk mendorong Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang “bersih” dari berbagai persoalan.
Demikianlah surat masukan ini kami sampaikan untuk ditindaklanjuti dengan segera demi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum bagi korban dan seluruh rakyat Indonesia.
Koalisi Melawan Lupa
Imparsial, KontraS, SETARA Institute, YLBHI, Elsam, ICW, HRWG, Politik Rakyat, LBH Jakarta, LBH Pers, Institute Demokrasi, KASUM, JSKK, IKOHI, Ridep Institute, KRHN, LBH Masyarakat, Perempuan Mahardika, LBH Surabaya, AJI Indonesia, PUSHAM-UII Yogyakarta, INFID, Aliran Batang Bungo-Jambi [ABB-Jambi], PIAR NTT, Forum Pemerhati Aspirasi Rakyat Kota Kupang, Freepublik NTT