Oleh: Muhammad Rasyid Ridha S.*
Di tengah-tengah carut-marutnya kondisi pengawasan kebijakan pengendalian wabah pandemi COVID-19, DPR-RI memutuskan untuk terus membahas beberapa RUU (Rancangan Undang-undang) kontroversial yang salah satunya adalah RUU Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP. Beberapa tokoh masyarakat, organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga aktivis menilai jika perumusan RUU HIP ini berpotensi membangkitkan kembali otoritarianisme atas nama Pancasila seperti yang terjadi di era rezim Orde Baru.
Merujuk pada Naskah Akademik dan draft sementara RUU, konon RUU tersebut dibuat sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada banyak hal yang diatur dalam RUU ini, mulai dari pendefinisian, ruang lingkup, tujuan pengundangan, konseptualisasi Pancasila, pembentukan Badan Khusus dan Dewan Pengarah, dan lainnya.
Meski begitu, sesungguhnya substansi norma dalam RUU HIP ini sendiri masih menyisakan beberapa catatan yang problematis.
Pertama, penyebutan Pancasila sebagai sebuah “ideologi” hingga kini masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Kebanyakan ideologi-ideologi yang ada di dunia, baik Liberalisme, Komunisme, Anarkisme, dan lain sebagainya, memiliki dimensi yang sangat sistemik, sistematis, dan memiliki tawaran ide praktis sekaligus kompleks. Namun berbeda dengan “Pancasila”, ia sebenarnya tidak lebih kumpulan bait-bait yang sifatnya etis-moral imperatif. Bahkan ada yang bilang juga jika Pancasila sebenarnya tidak lebih dari kumpulan slogan-slogan yang diekstraksi dari berbagai cita-cita di berbagai ideologi yang ada di dunia.
Kedua, disamping Moh. Yamin dan Soepomo, Soekarno selaku salah seorang penggali dari Pancasila, lebih sering menyebut Pancasila sebagai suatu “Philosophische Grondslag” dan “Weltanschauung” atau yang diterjemahkan berarti sebagai sebuah pandangan dasar dan besar atas dunia. Ia tak menyebutnya sebagai suatu ideologi tersendiri, karena Pancasila bukan dirumuskan untuk menjadi suatu ideologi khusus melainkan merangkum berbagai macam cita-cita ideologi dan menjadi suatu pandangan dasar dan besar atas dunia.
Dengan posisinya sebagai pandangan dasar dan besar atas dunia, maka Pancasila menjadi sangat dinamis dan fleksibel tergantung situasi dan zaman dimana ia berada. Ketika ia diposisikan sebagai sebuah ideologi ataupun rumusan normatif yang dijabarkan dalam suatu norma peraturan perundang-undangan, Pancasila justru menjadi aturan norma baku yang rigid dan kehilangan dinamitas dan fleksibilitasnya.
Ketiga, Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memposisikan Pancasila sebagai sumber dari sumber segala hukum negara. Ia tidak diposisikan sebagai suatu hukum tersendiri, melainkan sebagai sumber dari sumber segala hukum. Ia tidak bisa serta merta menjadi aturan hukum, karena memang ia bukanlah aturan hukum, melainkan berposisi sebagai sumber dan nilai hukum.
Oleh karenanya pengaturan dan pemosisian Pancasila di suatu aturan Undang-undang tersendiri seperti RUU HIP bersifat paradoksal dan kontradiktif dengan posisi Pancasila sebagai sumber dari sumber segala hukum sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011.
Keempat, dalam RUU HIP terdapat mandat dibentuknya suatu badan yang memiliki fungsi dan wewenang untuk mengarahkan, monitoring, dan evaluasi kebijakan Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Ia bekerja baik dalam ranah level pembuatan kebijakan, pengawasan dan sinkronisasi kebijakan, mengkoordinasikan berbagai instansi, hingga memberikan rekomendasi hasil kajian terhadap kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Haluan Ideologi Pancasila.
Dalam hal ini, badan tersebut memiliki corak tugas, fungsi dan wewenang yang mirip dengan lembaga P7 (Penasihat Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di era rezim Orde Baru yang melaksanakan pengawasan, monitoring, pembinaan, dan lainnya atas implementasi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Dilihat dari posisi dan wewenangnya, Badan pelaksana dalam RUU HIP ini akan menjadi semacam institusi resmi yang memiliki kekuasaan kuat untuk memonopoli tafsir atas Pancasila yang justru akan mematikan ruh Pancasila itu sendiri. Pancasila kehilangan dimensi fleksibilitas, dinamitas, bahkan progresifitasnya untuk ditafsir oleh banyak orang dan kelompok. Pada akhirnya, monopoli tafsir atas Pancasila berpotensi mewujudkan rezim kebenaran tunggal dengan memberangus suara yang berbeda, yang tentunya berbahaya bagi iklim demokrasi di Indonesia.
Kelima, RUU HIP juga memandatkan dibentuknya semacam Dewan Pengarah dalam badan pelaksana haluan ideologi Pancasila. Dalam Dewan Pengarah tersebut turut dilibatkan unsur TNI, Kepolisian, ASN, dan Purnawirawan/Pensiunan sebagai anggota. Namun pelibatan TNI, Kepolisian, maupun Purnawirawan ini nampaknya dirumuskan tanpa rasionalisasi yang jelas.
Selain itu pelibatan tersebut bertentangan dengan semangat reformasi dalam UU TNI maupun UU Kepolisian. Posisi TNI adalah sebagai alat pertahanan negara yang karenanya dilatih dan bekerja untuk berperang melawan ancaman serangan dari luar dan Polisi sebagai alat keamanan negara dimana ia sebagai aparat penegak hukum bertugas untuk menjamin keamanan sebagaimana prinsip hak asasi manusia dan menegakkan hukum dalam kerangka sistem peradilan pidana. Oleh karenanya secara prinsipil kedua institusi tersebut tidak memiliki tugas dan fungsi untuk mengarahkan haluan ideologi tertentu, termasuk Pancasila.
Selebihnya, banyak kalangan memproblematisir “tafsiran Pancasila” di dalam RUU HIP yang disinyalir terlalu berbau “Soekarnoisme”, dimana Pancasila dikerucutkan lagi lewat skema Trisila dan Ekasila ataupun dianggap terlalu berbau Sosialisme. Sebenarnya tidak ada masalah dengan hal tersebut, karena secara substansi gagasan merupakan bagian dari latar belakang konseptual mengapa Pancasila bisa hadir di Republik ini.
Namun kembali lagi, ketika pemikiran-pemikiran maupun tafsiran Pancasila diadopsi dan diekstraksi ke dalam RUU HIP ini, ia berpotensi menjadi pemikiran dan tafsir yang absolut, yang pada akhirnya justru menjadikan Pancasila miskin akan interpretasi dan imajinasi. Ketika Pancasila diletakkan dalam posisi Undang-undang yang sebenarnya cenderung kaku, mengatur, dan memaksa, akhirnya yang terjadi adalah proses pengkerdilan terhadap Pancasila dan ia kehilangan daya magisnya.
Pada akhirnya, bila kesemua problem-problem mendasar dalam RUU HIP ini terus digulirkan dan diabsahkan menjadi satu aturan perundang-undangan, maka ia akan berpotensi memberikan dampak pada menurunnya kualitas demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia, khususnya kebebasan berpikir dan berkeyakinan. Monopoli tafsir Pancasila oleh Negara dalam suatu aturan undang-undang menjadikan warga tidak bisa lagi secara bebas dan kreatif memaknai dan menghayati Pancasila atas kesadaran dirinya, karena pemahaman Pancasilanya dikontrol oleh rezim Negara. []
–Penulis adalah Pengacara Publik LBH Jakarta
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.