TNI dirasa telah bertindak di luar jalurnya dalam penandatanganan nota kesepemahaman dengan pengusaha. Hal ini ditandai dengan adanya Mou antara KBN dan TNI baru-baru ini. Kerjasama tersebut pada akhirnya mengindikasikan sikap yang mengancam bagi kehidupan buruh yang ada.
Keterlibatan militer di ranah ketenagakerjaan atau perburuhan ini mengkhawatirkan Al Araf. Peneliti Imparsial ini berpendapat masuknya militer ke ranah perburuhan salah satunya disebabkan tak tuntasnya reformasi TNI yang bergulir sejak reformasi. Pria yang disapa Al itu menyorot mekanisme Komando Teritorial (Koter) seperti keberadaan Koramil dan Korem. “Di masa Orde Baru Koter diperkuat untuk mengawasi masyarakat agar tunduk pada rezim Soeharto,” katanya dalam diskusi di LBH Jakarta, Senin (09/6).
Menurut Al, keberadaan Koter sudah tidak sesuai dengan posisi TNI dan Polri yang sekarang tidak boleh berpolitik. Jika ada pandangan bahwa fungsi Koter saat ini sudah tidak dimanfaatkan lagi untuk kepentingan politik tapi Al menganggap hal itu tidak bisa dibenarkan. Sebab, Koter berpotensi besar disalahgunakan. Baik itu untuk politik atau kepentingan pihak tertentu. Misalnya, lewat Koter, pengusaha memanfaatkan militer untuk merepresi pekerja yang menuntut pemenuhan hak.
Oleh karena itu jika reformasi TNI tidak dilanjutkan, khususnya merevisi keberadaan Koter, Al berpendapat keterlibatan militer dalam perburuhan akan berulang terus. Keterlibatan itu dilakukan diantaranya lewat MoU. Seperti MoU antara TNI dengan kawasan industri KBN Cakung-Cilincing, Jakarta dengan dalih menjaga keamanan. “MoU itu tidak sejalan dengan amanat UU TNI,” ujarnya.
Al melihat MoU itu awalnya antara Polri dan TNI untuk penanganan objek vital. Kemudian diterjemahkan menjadi MoU antara militer dengan pengusaha di berbagai tempat. Padahal, UU TNI menjelaskan aparat militer bertugas menghadapi ancaman dari luar. Oleh karenanya keterlibatan TNI dalam menangani keamanan dalam negeri sifatnya dibatasi. Misalnya, lewat operasi militer di luar perang dalam rangka membantu Polri. “Tapi fungsi itu harus mendapat persetujuan Presiden dengan pertimbangan DPR. Nah, MoU militer dan pengusaha itu melanggar UU TNI,” tukasnya.
Al mempertanyakan apakah nota kesepahaman TNI dengan pengusaha sudah mendapat persetujuan dari Presiden sebagai panglima tertinggi militer. Sebelum MoU itu diteken, seharusnya ada keputusan Presiden untuk melibatkan TNI di sektor perburuhan. Hal itulah yang diamanatkan UU TNI. Namun, jika pekerja merasa perusahaan tempatnya bekerja menjalin MoU dengan TNI sebagaimana dimaksud, Al mengimbau agar serikat pekerja mengajukan keberatan kepada Panglima TNI.
Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Jumisih, berpendapat hal itu sudah terjadi lewat MoU antara KBN Cakung-Cilincing dan TNI. Menurutnya MoU itu ditujukan untuk pengamanan aset-aset KBN. Alhasil, MoU itu membuat cemas kalangan pekerja, sebab selama ini pengusaha menganggap pekerja kerap membuat keresahan karena menuntut haknya. Padahal, itu merupakan cara pandang yang salah. “Pola berpikir itu seperti masa orde baru. Pola militeristik yang dimasukan ke dalam ranah perburuhan,” tandas Jumisih.
Pemikiran yang salah itu menurut Jumisih membuat posisi pekerja selalu sebagai pihak yang dituding membuat keresahan. Padahal, pekerja hanya menuntut pemenuhan hak-hak normatifnya. Sedangkan pengusaha tak jarang melakukan pelanggaran hukum ketenagakerjaan. Ironisnya, pemerintah tidak hadir untuk melindungi pekerja. Serta mandul memberikan sanksi tegas kepada pengusaha yang melanggar hak pekerja.
Oleh karenanya Jumisih menyayangkan adanya MoU antara KBN Cakung-Cilincing dan TNI. Menurutnya, militer tidak layak untuk ikut campur menangani masalah ketenagakerjaan atau perburuhan. Sebab, tugas militer menjaga negara dari serangan luar. “Militer tidak perlu mengurus persoalan buruh, kembali saja ke barak,” tuturnya.
Pengacara publik LBH Jakarta, Muhammad Isnur, menjelaskan keterlibatan TNI dalam perburuhan dapat dilihat dari berbagai kasus. Seperti 2008 ketika pekerja kereta api yang mengurusi tiket melakukan mogok kerja. Kemudian, militer mengambil alih penjagaan di setiap stasiun kereta. Sementara aksi mogok kerja yang dilakukan pekerja kereta api dihalang-halangi. Begitu pula kasus lainnya dimana anggota serikat pekerja mendapat intimidasi dari militer ketika memperjuangkan haknya sebagai pekerja.
Kondisi itu semakin diperparah dengan terbitnya regulasi yang memungkinkan bagi militer untuk masuk wilayah sipil seperti UU PKS dan Intelijen. “Regulasi itu menjadi dasar hukum bagi militer untuk masuk dalam wilayah yang menjadi supremasi sipil,” pungkasnya. (hukumonline.com)