Jakarta, Lbh Jakarta—Diskusi Publik dengan Tema ”Gerakan Buruh Melawan Lupa” Menakar Komitmen Capres-Cawapres, Hapus Militerisme Di Sektor Perburuhan dilakukan oleh LBH Jakarta Senin 09/06/2014. Diskusi kali ini dihadiri oleh rekan-rekan buruh dari FBLP, PUK, SBSI, Imparsial, dan juga LBH Jakarta.
Diskusi yang dihadiri dan dibuka langsung oleh Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta ini mencoba untuk menguak dan mengingatkan kita kembali bahwa sektor perburuhan yang notabene berada di wilayah sipil bukanlah medan perang yang harus ditangani langsung oleh militer. Seperti yang tertuang dalam release LBH Jakarta terkait diskusi ini, bahwa pentingnya diskusi ini adalah untuk menolak militerisme yang represif dan melakukan pembatasan bagi kebebasan warga negara khususnya buruh untuk berkumpul serta menyuarakan kesejahteraan bagi kaum buruh.
Dalam diskusi kali ini, LBH Jakarta menghadirkan pembicara diantaranya; Al Araf selaku Direktur Program Imparsial, Jumisih Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik, Muhamad Isnur Kepala Bidang Penanganan Kasus LBH Jakarta, dan di moderatori oleh Marully. Dalam pemaparannya, Jumisih menuntut pemerintah untuk mengadili para pelanggar HAM, dan mengingatkan para rekan-rekan buruh untuk tidak mendukung Capres dan Cawapres yang mempunyai catatan hitam terkait pelanggaran HAM. Ia juga dengan tegas menyoroti penandatangan MoU yang dilakukan oleh Direktur KBN dan TNI karena dianggap sebagai bentuk tekanan terhadap buruh ataupun organisasi buruh.
Sementara dalam rekam jejak yang dilakukan oleh LBH Jakarta terkait visi dan misi dari kedua pasangan capres dan cawapres Muhamad Isnur memaparkan interpretasi LBH Jakarta, ada indikasi dari pasangan capres dan cawapres yang ingin mencampurkan tugas TNI dan Polri untuk menjaga keamanan sosial. Jika hal itu terjadi, artinya TNI bisa secara langsung turun ke masyarakat untuk merepresi berbagai macam dinamika yang terjadi di wilayah sosial.
Sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Muhamad Isnur, Al Araf selaku pengamat memaparkan reformasi di tubuh TNI dianggap gagal karena belum bisa menghancurkan struktur politis ditubuh TNI yang merupakan peninggalan Rezim orde baru. Seharusnya TNI tetap mengacu pada Undang-Undang No. 34 tahun 2004 pasal 7 ayat 2.
Diskusi kemudian di tutup dengan kesepakatan bahwasannya gerakan buruh untuk melawan militerisme tidak hanya dilakukan saat pilpres sedang bergulir, namun dilakukan secara konsisten. (LBH Jakarta)