Laporan Pemeringkatan Indeks Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi Kelompok Difabel di DKI
Jakarta Tahun 2015
LATAR BELAKANG
Salah satu bentuk alat ukur demokrasi yang sedang diampu sebuah pemerintahan adalah dengan menimbang kemampuan negara tersebut dalam memenuhi dan menjamin hak-hak warga negaranya. Artinya, negara harus mampu menjadi penyedia sekaligus pelindung bagi hak-hak setiap warga negaranya. Beranjak dari pemikiran tersebut, dalam konteks pemenuhan hak terhadap akses fasilitas publik, negara berkewajiban menyediakan fasilitas publik yang dapat dinikmati dan benar-benar berangkat dari kebutuhan masyarakat. Namun, seringkali prinsipprinsip ini sulit sekali diwujudkan. Demokratisasi yang lewat menembus berbagai wilayah, tak jarang lengah dari berbagai kepentingan warga negara, terutama bagi mereka yang termasuk kelompok rentan, seperti kelompok difabel.
Kesulitan untuk memperoleh akses terhadap fasilitas publik masih banyak dialami oleh kelompok difabel. Akar dari persoalan ini adalah karena mereka masih diasosiasikan sebagai kelompok masyarakat yang dianggap “tidak normal”. Padahal, data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa terdapat 15% kelompok difabel yang hidup di Indonesia saat ini. Sehingga, label yang dilekatkan kepada mereka adalah sebuah bentuk diskriminasi yang diakibatkan oleh arus besar “normalitas”.
Bentuk diskriminasi oleh negara dan masyarakat juga tercermin dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Melalui ketentuan tersebut, negara justru memberikan label kepada kelompok difabel sebagai seseorang yang “cacat”, bukan “difabel” yang bersumber dari kata difable (differently able). Meski demikian, untuk memenuhi kebutuhan kelompok difabel, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana Perhubungan (“Kepmenhub 71/1999”) dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRTM/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan (“PermenPU 30/2006”).
Tapi, efektivitas penegakan ketentuan tersebut masih sangat kurang di lapangan. Secara umum, masih banyak fasilitas publik yang tidak bisa dinikmati oleh kelompok difabel. Karenanya, penelitian ini hendak mengurai tingkat aksesibilitas beberapa fasilitas publik dan kesesuaiannya dengan kriteria sebagaimana ditetapkan oleh kedua peraturan di atas. Kami membagi fasilitas publik yang menjadi objek observasi penelitian ini ke dalam empat kategori, yaitu layanan transportasi publik TransJakarta, layanan transportasi publik kereta api komuter (commuter line), gedung instansi pemerintah, dan gedung instansi non-pemerintah.
Unduh Laporan lengkapnya pada link di bawah ini