LBH Jakarta mendesak Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud M.D. untuk mencabut pernyataannya restorative justice (keadilan restoratif) dapat dilakukan dalam kasus pemerkosaan dan belajar lagi soal gender. Meskipun secara umum upaya mengedepankan keadilan restoratif dalam penegakan hukum pidana harus terus kita upayakan, pernyataan tersebut tersebut adalah pernyataan yang keliru, menyesatkan (misleading), dan sangat tidak berpihak pada korban. Selain itu pernyataan tersebut sangat mengejutkan karena keluar dari seorang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang seharusnya memiliki perspektif perlindungan perempuan sekaligus Menkopolhukam, yang bertugas menjadi koordinator dalam persoalan politik, hukum dan keamanan. Tidak mengherankan pula seperangkat aturan yang melindungi perempuan seperti RUU PKS, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga terkatung-katung kondisinya di DPR.
Lebih lengkap Menkopolhukam menyatakan“Misal ada Siti diperkosa. Kalau mau hukum tegas, pemerkosa tangkap masuk ke pengadilan selesai. Tapi restorative justice tidak bicara itu, restorative justice bilang, kalau kita tangkap Amir sebagai pemerkosa lalu diumumkan bahwa dia memerkosa Siti, keluarga Siti hancur.” katanya pada 16 Februari 2021 saat menjadi pembicara dalam acara Rapim Polri seperti diberitakan media[1]. Ia melanjutkan, “Maka sebab itu, dulu di hukum adat ada istilah ‘diam-diam saja kamu lari, biar orang tidak tahu’. Makanya dulu ada kawin lari. Itu restorative, agar orang tidak ribut. Agar yang diperkosa tidak malu kepada seluruh kampung. Kawin di luar daerah sana. Itu contoh restorative justice, membangun harmoni.”
Pernyataan demikian, yang menafsirkan bahwa penerapan keadilan restoratif adalah mengedepankan keharmonisan masyarakat tanpa memperhatikan perlindungan dan penguatan korban kejahatan memposisikan seolah-olah keadilan restoratif adalah penegakan hukum yang berpusat pada pelaku saja (offender-centered). Lebih-lebih yang dicontohkan Menkopolhukam adalah kasus perkosaan di mana korban dinikahkan dengan pelaku. Tindakan yang sangat keji. Perkosaan adalah kejahatan yang sangat serius dan telah digolongkan sebagai kejahatan tingkat tertinggi di berbagai negara (first-degree felony).[2]
Menggunakan pendekatan keadilan restoratif seperti yang disampaikan Menkopolhukam adalah tindakan nyata pejabat mempertontonkan ketidakpedulian pada korban yang angkanya terus meningkat. Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2020 terjadi 792 kasus perkosaan di ranah pribadi dan 715 kasus perkosaan di ranah komunitas.[3] Lentera Sintas pada 2016 mencatat dari 25.213 korban kekerasan seksual, 93% diantaranya tak melaporkan kasusnya ke aparat hukum karena tendensi mereka yang menyalahkan korban.[4] IJRS dan Infid pada 2020 juga mencatat bahwa 57,4% responden yang disurvey mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual mengeluhkan aparat hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual.[5]
Bahkan, berbagai penelitian[6] menunjukkan bahwa terdapat banyak alasan mengapa korban perkosaan tidak seharusnya kasus diselesaikan secara restoratif karena kekhawatiran-kekhawatiran: Pertama, mengalihkan kasus-kasus kekerasan seksual dari penyelesaian melalui peradilan pidana memungkinkan hilangnya kesan bahwa perkosaan adalah kejahatan serius dengan menunjukkan sesuatu yang bisa saja dianggap hukuman yang lembek untuk penghukuman pelaku. Kedua, kekhawatiran bahwa proses yang tidak resmi dapat saja mereviktimisasi korban mengingat terdapat relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, mengenyampingkan keselamatan korban, dan potensi korban selanjutnya.
Ketiga, kekhawatiran tentang dinamika pada saat proses restoratif yang diasumsikan dapat mengedepankan perubahan positif pada korban maupun pelaku, namun tidak terdapat jaminan. Pelaku dapat saja tidak benar-benar bersungguh-sungguh mengikuti proses itu yang kemudian membuatnya mengeluarkan sikap yang menganggap kekerasan seksual adalah hal yang biasa, yang kemudian ini dapat memancing lagi trauma korban. Keempat, kebutuhan prasyarat sumber daya untuk melakukan proses keadilan restoratif pada korban yang cukup kompleks, mulai dari penyediaan ahli, fasilitator, serta pelatihan-pelatihan khususnya, serta kehadiran atau dukungan keluarga, kerabat dan lain-lain yang mebutuhkan biaya sangat tinggi. Membangun sistem demikian dengan sumber daya yang dalam kenyataanya terbatas bisa saja menyedot perhatian yang sebaiknya didahulukan untuk fokus memberikan perlindungan korban.
Belum disahkannya Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) saja sudah menunjukkan bahwa tendensi pengambil kebijakan untuk menunjukkan keseriusan menegakkan proses hukum dan mempidanakan kekerasan seksual masih sangat kurang. Pernyataan Menkopolhukam tentang keadilan restoratif kasus pemerkosaan hanya akan menambah impunitas bagi korban-korban perkosaan.
Oleh karena itu, sejalan dengan tuntutan masyarakat lainnya, LBH Jakarta mendesak:
- Menkopolhukam mencabut pernyataan keadilan restoratif terkait korban perkosaan yang keliru, menyesatkan dan sangat tidak berpihak pada korban;
- Menkopolhukam meminta maaf pada korban serta seluruh masyarakat Indonesia;
- Menkopolhukam belajar lagi soal teori-teori gender dan perlindungan terhadap perempuan;
- Menkopolhukam mendorong pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU PKS tahun ini dengan melibatkan masyarakat.
Jakarta, 23 Februari 2020
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
[1] https://nasional.kompas.com/read/2021/02/17/13060521/bicara-prinsip-restorative-justice-mahfud-md-contohkan-kasus-pemerkosaan?page=all diakses pada 21.36, 18 Februari 2021
[2] https://en.wikipedia.org/wiki/Laws_regarding_rape#Laws_by_country diakses pada 22.49, 18 Februari 2021
[3] https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2020-kekerasan-meningkat-kebijakan-penghapu diakses pada 23.01, 18 Februari 2021
[4] https://magdalene.co/story/93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-yang-dialami-survei diakses pada 23.12, 18 Februari 2021
[5] Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender Respons dan Sikap Masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, IJRS dan Infid, September 2020.
[6] McGlynn, C., Westmarland, N. and Godden, N. (2012). ‘I just wanted him to hear me’: Sexual violence and the possibilities of Restorative Justice. Journal of Law and Society, 39(2): 213- 240, Roberts, J. V. (2002). Restorative justice: Some caveats. Justice Report (Canadian Criminal Justice Association), Jülich, S. & Buttle, J. (2010). Beyond conflict resolution: Towards a restorative justice process for sexual violence. Te Awatea Review: The Journal of Te Awatea Violence Research .8(1/2): 21-25, Rubin, P. (2003). Restorative justice in Nova Scotia: Women’s experience and recommendations for positive policy development and implementation: Report and recommendations. In association with the Management Committee of Restorative Justice in Nova Scotia, (Accessed on 16th June 2012 @ http://avaloncentre.ca/ RestorativeJustice-finalreport.pdf)., Jülich, S. (2010). Restorative Justice and gendered violence in New Zealand: A glimmer of hope. In J.Ptacek (Ed.) Restorative justice and violence against women. Oxford: Oxford University Press (pp.239-254). Te Awarea Review, (December): 21- 25, Miers, D. (2001). An international review of restorative justice. London: Home Office., dalam Restorative Justice in Cases of Sexual Violence: Exploring the views of the public and survivors, Francesca Marsh and Nadia M. Wager, University of Bedfordshire, Desember 2015, hal 5-6.