Jakarta, bantuanhukum.or.id-Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran (“KA PPRTBM”) menyambangi Kementerian Tenaga Kerja untuk beraudiensi dengan Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri (20/1). KA PPRTBM mendatangi Kementerian Tenaga Kerja berkenaan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (“Permenaker No. 2/2015”) pada tanggal 16 Januari 2015 yang lalu.
KA PPRTBM menyampaikan apresiasi kepada Menteri Tenaga Kerja dengan dikeluarkannya Permenaker No. 2/2015 ini, yang menjadi dasar hukum bagi perlindungan terhadap pekerja rumah tangga (“PRT”). Selain memberikan apresiasi, KA PPRTBM juga meminta Menteri Tenaga Kerja terus mendukung pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pekerja Rumah Tangga (“RUU PRT”) yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional DPR periode 2015-2019.
Tidak hanya sekedar memberikan apresiasi, sejumlah organisasi yang tergabung dalam KA PPRTBM juga memberikan sejumlah catatan terkait dengan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, yang harus segera dipenuhi oleh pemerintah untuk menyempurnakan muatan dalam Permen No 2 Tahun 2015. Eny Rofiatul N, S.H., pengacara publik LBH Jakarta menyampaikan bahwa hingga saat ini perlindungan terhadap pekerja rumah tangga sangat minim bahkan pekerja rumah tangga pun seringkali diarahkan untuk menyelesaikan kasusnya melalui jalur musyawarah apabila terjadi perselisihan mengenai upah, padahal di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) sudah mengatur tentang sanksi pidana jika pengusaha tidak membayar upah pekerjanya. Selain itu, dalam kasus-kasus pelanggaran pidana yang dilakukan majikan kepada PRT, hampir semuanya tidak dapat diproses dan berhenti di kepolisian. “Berdasarkan data dari JALA PRT, kami menemukan sebanyak 408 kasus pelanggaran hak-hak PRT dan dari jumlah tersebut 85% berhenti di proses penyidikan”, ujar Eny.
Selain memaparkan data tentang banyaknya laporan kepolisian yang tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian, Eny juga menyampaikan bahwa pemerintah perlu segera mengesarkan Rancangan Undang-Undang PRT dalam rangka memberikan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga sebagaimana yang sudah direkomendasikan oleh Dewan Ecosoc (Economic, Sosial , and Cultural Rights) PBB pada sidang di Jenewa tanggal 23 Mei 2014. “Kami juga mendesak kepada pemerintah untuk segera mengesahkan undang-undang PRT sebgaimana yang telah direkomendasikan Dewan Ecosoc PBB agar dapat memberikan perlindungan yang maksimal bagi PRT”, tambah Eny.
Menanggapi beberapa catatan tersebut, Menteri Tenaga Kerja menyatakan bahwa Permenaker No. 2/2015 merupakan terobosan hukum baru dalam perlindungan PRT di Indonesia. Meskipun demikian, Menteri Tenaga Kerja mengakui bahwa Permenaker No. 2/2015 tidak mengacu kepada UU Ketenagakerjaan dengan alasan bahwa jika merujuk pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 akan menjadi rumit khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan serikat pekerja dan mekanisme penyelesaian perselisihan. Selanjutnya, secara tidak langsung, Menteri Tenaga Kerja juga mengakui beberapa kekurangan dari Permenaker No. 2/2015 dan menyatakan Permenaker No. 2/2015 merupakan “standar perlindungan minimal” bagi PRT. Tentunya hal ini bertentangan dengan pernyataan Menteri Tenaga Kerja sebelumnya di beberapa media massa yang menyatakan bahwa Permenaker No. 2/2015 jauh lebih baik daripada Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT (“KILO 189”).
Untuk diketahui sebelumnya, menurut Pasal 3 KILO 189, PRT harus diperlakukan sama seperti dengan pekerja lainnya yang bekerja pada sektor formal. Dengan tidak mengacu pada UU Ketenagakerjaan, tentunya dapat dilihat bahwa kualitas Permenaker No. 2/2015 bisa dikatakan jauh di bawah “standar minimal” yang seharusnya. (Matthew)