“Yang Kami Muliakan Majelis Hakim, Yang Kami Muliakan Seluruh Paduka Buruh, Paduka Petani, Paduka Nelayan, dan seluruh masyarakat yang tak pernah lelah memperjuangkan keadilan, kebenaran dan hak asasi manusia.”
Ruang Kartika IV Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali tak kuasa menampung buruh dan masyarakat yang ingin menyaksikan sidang dugaan kriminalisasi terhadap 23 Buruh, 1 Mahasiswa, dan 2 Pengacara Publik LBH Jakarta (04/04). Pekik “Hidup Buruh, Hidup Rakyat Indonesia” sahut menyahut berkumandang di dalam ruang sidang. Tak hanya menyaksikan, buruh dan masyarakat hadir untuk memberikan dukungan kepada ke 26 aktivis tersebut.
Terdapat 2 agenda dalam sidang kali ini. Pertama adalah pembacaan eksepsi (Nota Keberatan) dan pembacaan dakwaan. Agenda Pembacaan Eksepsi dilakukan untuk terdakwa Tigor Gemdita Hutapea, Obed Sakti Andre Dominika, dan Hasyim Ilyas. Sedangkan untuk terdakwa 23 buruh adalah pembacaan dakwaan.
Kurang sedikit dari pukul 11.00 WIB. Para terdakwa, Kuasa Hukum, Buruh dan Masyarakat hadir ke dalam ruang sidang Kartika IV PN Jakpus. Jejak langkah mereka terdengar mantap, tak mengisyaratkan keraguan sedikit pun. Ke 26 aktivis tersebut berjalan ke ruang sidang sambil mengenakan borgol yang terbuat dari kardus, sebagai simbol kriminalisasi yang tengah mereka alami. Beberapa mengenakan ikat kepala yang juga terbuat dari kardus bertuliskan “Matinya Demokrasi”. Sementara para kuasa hukum telah rapih mengenakan toga, berjalan di belakang rombongan terdakwa.
Pekik “Hidup Buruh, Hidup Rakyat Indonesia” kembali menggema. Mengiringi masuknya Ke 26 Aktivis dan para kuasa hukum ke dalam ruang sidang. Tak lama berselang, pekik tersebut menjadi sebuah teriakan dari salah seorang buruh. “Pak ini sidang terbuka untuk umum, kenapa bapak larang-larang kawan kami yang mau menyaksikan sidang,” katanya kepada salah seorang polisi. Sorakan kepada polisi dari para pengunjung sidang yang berada dalam ruangan menyambung protes dari salah seorang buruh.
Masih sama seperti saat-saat sidang yang lalu. Polisi masih hadir, bertebaran di PN Jakarta Pusat. Meski kali ini, setelah ditegur oleh para kuasa hukum, mereka tak lagi membawa senjata ke dalam ruang sidang.
“Bapak polisi yang saya hormati, sidang ini terbuka untuk umum, bapak tidak punya kewenangan untuk melarang orang yang ingin menyaksikan sidang ini. Di dalam ruang sidang Majelis Hakim yang punya kewenangan untuk melarang dan menegur pengunjung sidang,” kata salah seorang Kuasa Hukum terdakwa, menanggapi protes para buruh yang ingin menyaksikan sidang.
Tak lama berselang, riuh pudar berganti khidmat Lagu Indonesia Raya yang berkumandang dari dalam ruang sidang. Lagu tersebut sekaligus menandai bahwa persidangan akan dimulai. Majelis Hakim telah lengkap berada di mejanya. Ruang Kartika IV penuh sesak, bahkan para buruh dan masyarakat yang tidak mendapatkan tempat duduk, harus rela duduk di lantai ruang Kartika IV.
Eksepsi
Sidang dimulai dengan pembacaan eksepsi oleh Tigor dan Obed. Dalam eksepsinya, Tigor dan Obed menyatakan bahwa menjadi Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta merupakan suatu kebanggaan. Di LBH Jakarta mereka dapat merasakan secara langsung penderitaan dari masyarakat miskin, buta hukum, dan termarjinalkan. Dalam eksepsinya pula, Tigor dan Obed menegaskan bahwa Advokat memiliki hak imunitas (kekebalan hukum) sesuai dengan apa yang termaktub dalam UU Advokat dan Putusan Mahkamah Konstitusi. Advokat digolongkan sebagai officium nobile (profesi yang terhormat), sehingga tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata saat sedang menjalankan tugasnya.
“Surat dakwaan merupakan pelanggaran perlindungan imunitas advokat. Advokat merupakan penegak hukum yang menjamin keadilan ditegakkan terhadap pencari keadilan,” papar Obed yang membacakan eksepsinya dengan suara lantang.
Apa yang dilakukan Tigor dan Obed pada 30 Oktober 2015 ketika mendampingi aksi buruh yang menolak PP No. 78 tentang Pengupahan merupakan upaya pendampingan terhadap klien. Berdasarkan tanggung jawab profesinya lah, Tigor dan Obed tidak mungkin meninggalkan buruh dan mahasiswa sebagai klien mereka yang sedang dipukuli dan ditangkap oleh polisi, saat itu buruh dan mahasiswa sedang menyampaikan pendapat di muka umum. Kegiatan tersebut pun dilindungi undang-undang. Namun naas, advokat yang merupakan penegak hukum justru ikut ditangkap, diseret, dipukul, dan dihina oleh penegak hukum lainnya.
Dalam eksepsinya pula, Tigor dan Obed menanyakan kepada Majelis Hakim, dimanakah kewibawaan profesi advokat yang mulia itu. Dalam kesimpulan eksepsi mereka, Tigor dan Obed menyatakan bahwa Surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum merupakan pelanggaran dan pelecehan terhadap profesi advokat.
“Kami menjalankan profesi kami, dan itu bukan tindak pidana atau kejahatan,” tegas Tigor yang membacakan kesimpulan Eksepsinya di hadapan Majelis Hakim.
Dalam Petitum, Tigor dan Obed memohon kepada Majelis Hakim agar menyatakan dakwaan batal demi hukum, harus dibatalkan, atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima, serta tidak melanjutkan pemeriksaan perkara. Tigor dan Obed juga meminta pemulihan nama baik mereka seperti semula.
Suasana yang cukup emosional menangungi ruang sidang Kartika IV. Tigor dan Obed membacakan eksepsinya dengan suara lantang dan terkadang bergetar. Getar suara mereka keluar pada bagian-bagian eksepsi yang menjelaskan posisi mereka sebagai pemberi bantuan hukum. Bahkan tangis sempat pecah di ruang sidang tersebut manakala suara Obed bergetar ketika ia membacakan sebuah bagian dalam eksepsinya.
“…tidaklah diperkenankan sebagai advokat meninggalkan pencari keadilan / klien yang sedang mengalami permasalahan hukum / masalah yang mencerabut hak asasi manusia. Hal itulah yang kami lakukan saat kami memberikan bantuan hukum kepada paduka buruh dalam melakukan penolakan PP Pengupahan Nomor 78 Tahun 2015. Tidaklah mungkin kami sebagai advokat meninggalkan paduka-paduka buruh yang mengalami berbagai tindakan kekerasan dari aparat kepolisian saat menyampaikan pendapat di depan umum dalam memperjuangkan hak hidup layaknya…”
Eksespsi Dari Rekan Sejawat Tigor dan Obed
Dalam eksepsi yang berjudul “Menolak Pembungkaman: Eksepsi Perlawanan Advokat dan Pekerja Bantuan Hukum” Tim Kuasa Hukum Tigor dan Obed Lantang membacakan eksepsi. Diawali oleh Arif Maulana, rekan sejawat Tigor dan Obed dari LBH Jakarta, eksepsi sepanjang 20 halaman tersebut dibacakan. Eksepsi dibacakan bergantian oleh para Kuasa Hukum Tigor dan Obed yang hadir. Sekitar 20-an Kuasa Hukum Tigor dan Obed hadir dalam persidangan tersebut. Jumlah tersebut belum mencapai setengahnya dari para rekan sejawat Tigor dan Obed yang menandatangani Surat Kuasa. Mereka berderet duduk di meja sebelah kiri dari sudut pandang Majelis Hakim. Dalam eksepsinya, Kuasa Hukum memaparkan enam poin terkait kasus yang menimpa Tigor dan Obed.
Pertama, Majelis Hakim dianggap tidak berwenang mengadili Tigor dan Obed. Alasannya, Tigor dan Obed merupakan seorang advokat. Dengan tegas UU mengatakan bahwa advokat yang sedang menjalankan fungsinya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Lebih lanjut, Tigor dan Obed sedang melaksanakan pekerjaannya mendampingi dan memberikan bantuan hukum kepada buruh, sebuah itikad baik. Sehingga forum untuk mengadili advokat berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaannya dalam mendampingi klien bukanlah pengadilan, melainkan Dewan Kehormatan Organisasi Profesi Advokat.
Kedua, surat dakwaan telah melanggar asas legalitas. Menurut Kuasa Hukum Tigor dan Obed, salah satu asas utama dalam hukum pidana adalah legalitas, yaitu tidak ada pidana tanpa undang-undang. Surat dakwaan terhadap Tigor dan Obed menggunakan Peraturan Kapolri sebagai ketentuan dasar pemidanaan.
Ketiga, Jaksa Penuntut Umum telah salah menerapkan hukum. Unjuk rasa sesuai asas lex specialis derogate lex generalis diatur menurut Undang-Undang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dan sanksi terhadap pelanggaran UU tersebut adalah pembubaran, bukan pemidanaan.
“Peraturan Kapolri telah salah digunakan untuk menafsirkan ketentuan yang tidak dilarang oleh Undang-Undang Penyampaian Pendapat di Muka Umum,” papar Arif Maulana rekan sejawat Tigor dan Obed Pengacara Publik LBH Jakarta.
Keempat, dakwaan telah error in persona. “Dalam surat dakwaan, terdapat kesalahan identitas dari terdakwa Obed Sakti Andre Dominika,” tambah Julius Ibrani dari YLBHI yang juga Kuasa Hukum Tigor dan Obed dalam bagiannya ketika membacakan Eksepsi.
Kelima, surat dakwaan telah melanggar syarat formil dan materiil yang ditentukan berdasarkan KUHAP dan Surat Edaran Jaksa Agung. Menurut para Kuasa Hukum Tigor dan Obed, masih terdapat banyak kesalahan dalam Surat Dakwaan yang dibuat Jaksa Penuntut Umum.
“Surat dakwaan seharusnya bersifat cermat, lengkap, dan jelas. Namun dalam surat dakwaan tidak disebutkan dengan jelas apakah tindak pidana yang dilakukan oleh para terdakwa, dan apakah peran terdakwa dalam tindak pidana tersebut. Jaksa penuntut umum bahkan tidak bisa menjelaskan apakah para terdakwa dalam tindak pidana bertindak sebagai pelaku, doenpleger, atau turut melakukan,” lanjut Julius.
Keenam, dakwaan telah berdasarkan proses penyidikan yang cacat. Dalam sidang tanggal 28 Maret 2016, Jaksa Penuntut Umum mengakui bahwa surat dakwaan yang mereka buat masih banyak terdapat kesalahan.
“Penuntut Umum tidak mempertimbangkan fakta bahwa para terdakwa tidak pernah di-BAP sebagai tersangka tanpa pemeriksaan pendahuluan. Bahkan dalam BAP tersangka yang didapat terdakwa Tigor, terdapat kejanggalan, dimana judul dari BAP adalah BAP Tersangka, namun pada isi BAP, masih digunakan terminologi saksi, seperti, didengarkan keterangannya sebagai saksi, sehingga kecacatan penyidikan berujung pada kecacatan dakwaan,” sambung Eko Haridani pada gilirannya membacakan Eksepsi.
Dalam Petitumnya, Kuasa Hukum Tigor dan Obed memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakaan surat dakwaan bagi Tigor dan Obed batal demi hukum, harus dibatalkan, atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima.
Mahasiswa dan 23 Buruh
Hasyim Ilyas, seorang mahasiswa dari Universitas Mulawarman. Ia ikut dalam barisan buruh yang menolak PP No. 78, 30 Oktober 2015 lalu. Sial baginya, bermaksud menolong buruh yang sedang dipukuli oleh aparat kepolisian, Hasyim justru ditangkap. Hasyim dihadapkan ke muka pengadilan sebagai terdakwa. Bersama Tigor dan Obed, ia pun membacakan eksepsinya dihadapan Majelis Hakim.
Kepada Majelis Hakim, Kuasa Hukum Hasyim Ilyas menyatakan bahwasannya apa yang dilakukan Hasyim bukanlah merupakan tindak pidana. Menurut Kuasa Hukum Hasyim, Majelis Hakim tidak berwenang mengadili perkara ini. Kuasa Hukum Hasyim menganggap tindakan dari terdakwa bukanlah merupakan tindak pidana. Dalam UU Penyampaian Pendapat di Muka Umum, sanksi dari tindakan melanggar UU tersebut adalah pembubaran, bukan pemidanaan. Pembubaran telah dilakukan, sehingga seharusya perkara dianggap telah selesai.
Dalam eksepsinya pula, Kuasa Hukum Hasyim menduga perkara yang dituduhkan kepada Hasyim merupakan sebuah kriminalisasi. Upaya aparat kepolisian untuk menghindar dari tuntutan pidana atas penganiayaan yang telah mereka lakukan. Penganiayaan terhadap 23 buruh, 1 mahasiswa, dan 2 pengacara LBH Jakarta.
Secara keseluruhan, terdapat banyak kesamaan antara eksepsi yang dibacakan oleh Kuasa Hukum untuk Tigor dan Obed dengan eksepsi yang dibacakan untuk Hasyim. Beberapa kesamaan tersebut terlihat dari beberapa argumen yang sama seperti permasalahan dakwaan yang kabur, posisi pelaku yang dituduh melakukan tindak pidana, tidak jelas dan sebagainya. Dalam kasus Hasyim ini pula, Jaksa Penuntut Umum melanggar Pasal 144 KUHAP karena merubah dakwaan terhadap Hasyim tanpa mengikuti pasal tersebut. Kesamaan dalam Eksepsi ini pun menjalar hingga petitum yang dibacakan Kuasa Hukum Hasyim. Singkat kata, Kuasa Hukum Hasyim meminta Majelis Hakim membatalkan dakwaan terhadap Hasyim.
Hasyim sebagai terdakwa pun membacakan sendiri eksespsi yang dibuatnya. Dalam eksepsinya, Hasyim Ilyas menyatakan dirinya tetap menolak dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Dalam pandangannya Hasyim menyatakan bahwa peradilan ini merupakan peradilan sesat.
“Sirene akan kami bunyikan tanda demokrasi sedang terancam. Sebab pembungkaman sedang terjadi. Bapak hakim bukan hanya sedang mengadili kami. Bapak hakim juga sedang mengadili demokrasi,” Katanya menutup pembacaan eksepsi.
Sementara sidang bagi 23 buruh yang dikriminalisasi kembali ditunda. Sejatinya, agenda sidang bagi 23 buruh yang dikriminalisasi adalah pembacaan dakwaan. Sidang kembali ditunda, karena 2 orang buruh kembali tidak menghadiri persidangan. Salah seorang buruh sakit. Salah seorang lagi, atas nama Mingpon tidak bisa menghadiri persidangan. Mingpon adalah seorang buruh yang berasal dari Surabaya, ia ikut menjadi korban kriminalisasi ketika berjuang menolak PP No. 78 30 Oktober 2015 lalu.
Jaksa Penuntut Umum gagal mendatangkan Mingpon karena domisili Mingpon yang jauh dari Jakarta. Kuasa Hukum buruh pun meminta Jaksa dan Majelis Hakim untuk membantu mendatangkan Mingpon ke persidangan.
“Kami berharap, Majelis Hakim dan Jaksa membantu Mingpon agar ia bisa menghadiri persidangan ini,” ujar Maruli Tua kepada Majelis Hakim.
Atas dasar itulah, melalui pengeras suara beberapa saat setelah Hakim menutup persidangan, melalui Maruli berseru kepada para buruh yang menghadiri persidangan agar membantu Mingpon.
“Saya berharap rekan-rekan buruh yang hadir dalam persidangan ini mau membantu saudara kita Mingpon, sisihkan sedikit uang rekan-rekan buruh sekalian untuk membantu Mingpon agar minggu depan dia bisa menghadiri persidangan,” himbau Maruli.
Persidangan berakhir sebelum sempat jarum jam berdiri di angka 16.00 WIB. Para terdakwa langsung menuju halaman parkir PN Jakarta Pusat. Disana, sudah sejak pagi bahkan. Masih bertahan rekan-rekan buruh dari berbagai serikat memberikan dukungan untuk rekan-rekan mereka yang dikriminalisasi. Bermodalkan satu buah mobil bak terbuka yang dipasangi pengeras suara, para buruh tersebut bergantian, berorasi, memberikan dukungan kepada rekan-rekan mereka yang dikriminalisasi. Mereka berjanji akan kembali hadir ke persidangan minggu depan bertepatan dengan agenda sidang selanjutnya yang memang sudah diagendakan oleh Majelis Hakim. Sidang akan dilanjutkan kembali pada tanggal 11 April 2016. (Dema)