30 April 2023, LBH Jakarta bersama dengan Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) melaksanakan Konferensi Pers di Eknas Walhi terkait Aksi Mayday 2023. Pada tahun ini tema yang diusung adalah Mei Melawan: Mengorganisir Amarah Memukul Balik Oligarki. Pada Konferensi Pers Gebrak mengerucutkan persoalan perburuhan pada 5 sektor yakni sektor perburuhan, sektor agraria dan pangan, sektor lingkungan hidup, sektor pendidikan, sektor demokrasi.
Sektor Perburuhan
Saat ini, situasi perburuhan di berbagai negara masih menghadapi banyak tantangan, termasuk di Indonesia. Kondisinya bisa jadi lebih parah pasca disahkannya Perppu Cipta Kerja menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Berikut adalah kondisi perburuhan di Indonesia: Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2022, tercatat terdapat 8,4 juta pengangguran (5,86 persen dari tenaga kerja). Angka ini lebih tinggi dari kondisi sebelum pandemi yang hanya 7 juta orang (5,28 persen).
Jumlah pekerja di sektor informal cukup signifikan. Pekerja lepas dan pekerja keluarga tidak dibayar saat ini jumlahnya mencapai 30,6 juta orang, meningkat 2,6 juta orang dibandingkan dengan sebelum pandemi. Sejak awal pemerintahan Jokowi di tahun 2014 hingga kini, rasio pekerjaan di sektor formal stagnan di angka 41 persen. Jumlah pekerja di sektor formal hanya tumbuh 20 persen. Sementara jumlah mereka yang berusaha sendiri, termasuk di antaranya pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, dan para pekerja gig (tidak tetap) lainnya, tumbuh 46 persen. Proporsi tenaga kerja formal dan informal di Indonesia pada Agustus 2022 berdasarkan Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia (BPS) 40,69 persen formal dan 59,31% informal.
Data di atas menunjukkan stagnasi potret tenaga kerja kita. Makin banyak tenaga kerja yang terjun ke sektor informal yang penuh risiko. Bahkan, kebanyakan mereka yang berusaha sendiri bukanlah wirausaha yang punya potensi untuk tumbuh karena adanya kesempatan, melainkan mereka yang tidak punya pilihan lain untuk bekerja di sektor formal (tidak bisa survive di desa dan tidak terserap oleh lapangan kerja formal di kota). Menjadi keharusan bagi gerakan progresif untuk dapat mendorong agenda penciptaan pekerjaan formal dan layak dalam program-programnya.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan pada tahun 2022, terdapat 34 provinsi di Indonesia yang menetapkan upah minimum regional (UMR) dengan kisaran antara Rp 1,9 juta hingga Rp 4,4 juta per bulan. Namun, masih banyak pekerja yang menghasilkan upah di bawah UMR dan terpaksa bekerja dalam kondisi yang tidak layak dan sangat rentan. Ditambah kemunculan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 2023 (Permenaker 5/2023) yang melegalkan perusahaan padat karya tertentu berorientasi ekspor melakukan pemotongan upah pekerja hingga 75 persen. Bahkan sebelum peraturan ini ada, pemotongan upah adalah praktik yang sering dialami oleh pekerja di sektor padat karya. Permen tersebut memfasilitasi dan memberi justifikasi bagi pengusaha untuk semakin melemahkan hak-hak buruh.
Praktik perbudakan modern juda masih dapat kita temukan, fakta yang dialami oleh buruh perkebunan sawit, yang selalu diatasnamakan oleh pemerintah untuk terus melakukan ekspansi perkebunan sawit, bahkan sampai di pulau- pulau kecil, padahal sebagian besar buruh sawit statusnya adalah buruh harian lepas (BHL). Perbudakan modern juga terjadi dan dialami oleh buruh migran yang bekerja di sektor perikanan yang menjadi ABK, jauh dari pemenuhan perlindungan terhadap keselamatan, terlebih kesejahteraan. Situasi buruk yang dialami oleh ABK ini merupakan bentuk kejahatan Transnasional dan negara telah melakukan pembiaran.
Kasus pelanggaran hak pekerja yang terjadi di Indonesia, seperti upah yang tidak dibayar, jam kerja yang tidak wajar, atau ketidakamanan kerja. Menurut data Kemnaker, pada tahun 2022, terdapat 56.596 kasus pelanggaran hak pekerja yang dilaporkan.
Sektor Agraria dan Pangan
Akibat semangat pengaturan dalam UU Cipta Kerja untuk meliberalisasi dan memprivatisasi tanah, sepanjang tahun 2020-2022 telah terjadi 660 letusan konflik agraria seluas 2,16 juta hektar. Di mana sedikitnya 14 petani tewas dan 317 orang dipenjara hanya untuk mempertahankan tanahnya (KPA, 2023). Ini adalah bukti bahwa UU Cipta Kerja hanya memberikan kesengsaraan dan kemiskinan bagi petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya.
Kemudian masalah Bank Tanah masih sama dengan UU Cipta Kerja sebelumnya. Bank Tanah tidak ubahnya lembaga penyedia tanah bagi pelaku usaha dan menyelewengkan reforma agraria. Bank Tanah adalah lembaga yang mengembalikan praktik-praktik penjajahan seperti domein verklaring dan menyimpangi hak menguasai dari negara (HMN) melalui Hak Pengelolaan (HPL). Maka model dan cara kerja Bank Tanah bertentangan dengan Konstitusi dan UUPA 1960. Bank Tanah sebagai lembaga penjamin ketersediaan tanah bagi perusahaan tidak dapat diragukan. Sebab 99% pasal di dalamnya hanya dibuat untuk melayani pengusaha, bahkan dapat dipergunakan sebagai cara untuk memutihkan konsesi korporasi yang bermasalah seperti beroperasi tanpa izin/hak atas tanah, telah kadaluarsa, ditelantarkan, dan menimbulkan konflik agraria serta kerusakan lingkungan, bahkan melegalkan hak atas tanah yang diterbitkan dengan cara-cara yang koruptif.
UU Cipta Kerja juga mempermudah eksploitasi sumber-sumber agraria yang diiringi kerusakan lingkungan akibat kemudahan izin berusaha korporasi, pelemahan partisipasi masyarakat, dan pelemahan pengawasan. Substansi UU Cipta Kerja memperluas dan memperkuat ancaman perampasan tanah dan meningkatkan potensi kriminalisasi petani, masyarakat adat dan pembela lingkungan hidup dalam Pasal 162 UU Cipta Kerja bagi yang menolak kegiatan pertambangan. Kemudian pada konteks perlindungan kawasan pesisir, melalui Pasal 26A UU Cipta Kerja melakukan penghapusan syarat-syarat penanaman modal asing untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan.
Dampak lain UU Cipta Kerja yaitu ancaman liberalisasi pangan melalui food estate dan kemudahan impor pangan. Jutaan hektar tanah direkayasa menjadi lokasi penghasil barang mentah industri makanan seperti kentang, bawang, singkong dll. Padahal pada praktiknya food estate telah gagal mewujudkan kedaulatan pangan, hal ini dibuktikan dengan jutaan ton komoditas pangan terutama beras, gula, garam, kedelai dll selama ini diperoleh dengan cara impor dari negara lain. Food estate dan impor pangan hanya memperkaya elit politik dan kartel pangan di Indonesia.
Sektor Lingkungan Hidup
Pembangkangan demi pembangkangan terhadap konstitusi terus dilakukan oleh pengurus negara agar UU Cipta Kerja tetap berlaku. Saat ini dan kedepan, atas nama pembangunan dan ekonomi, keselamatan lingkungan dan keselamatan rakyat tidak lagi penting bagi pengurus negara. Berlakunya UU Cipta Kerja membuat pengerusakan lingkungan dan kejahatan lingkungan menjadi legal.
Dalam konteks hutan, dihapusnya pasal yang mewajibkan minimal 30% hutan berdasarkan daerah aliran sungai dan atau pulau harus terjaga. Dihapusnya pasal ini akan semakin mempercepat deforestasi hutan-hutan tersisa. Selain itu, pasal mengenai Percepatan pengukuhan Kawasan hutan tidak diatur lebih lanjut, sehingga akan sangat mungkin mengukuhkan Kawasan hutan tanpa persetujuan rakyat, hal ini tidak jauh berbeda dengan asas Domein Verklaring. Kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan terhadap usulan perubahan fungsi dan peruntukan Kawasan hutan juga dihapus. Kondisi ini akan menghilangkan mekanisme check and balance terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Selain memperlemah penegakan hukum dan menghilangkan tanggung jawab negara untuk melindungi batas minimal 30% Kawasan hutan, UU Cipta Kerja juga mereduksi makna AMDAL. Dalam UU Cipta Kerja, dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan ini mereduksi makna AMDAL yang sebelumnya merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan.
Pengampunan kejahatan kehutanan juga dijamin melalui pasal 110 A dan 110 B. Proses pengampunan kejahatan kehutanan ini melaju cepat di tahun politik. Maret 2023 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Kembali menerbitkan Surat Keputusan (SK) ke XI yang berisi data serta informasi kegiatan usaha yang telah terbangun dalam Kawasan hutan tanpa perizinan kehutanan. Teridentifikasi 890 subjek hukum, yang didominasi oleh korporasi sawit sebanyak 531 unit, korporasi pertambangan 175 unit dan selebihnya adalah individu, koperasi, dan kelompok tani. Sebelumnya, SK 1-7 yang diterbitkan oleh KLHK mengidentifikasi sebanyak 1.192
Subjek hukum. 616 diantaranya merupakan korporasi sawit, 130 unit korporasi pertambangan. Selebihnya 241 subjek hukum individu dan kelompok dengan aktivitas perkebunan sawit, dan 205 unit kegiatan lainnya.
Melihat fakta ini, komitmen-komitmen pemerintah Indonesia tentang perubahan iklim tidak lebih dari sekedar pencitraan di forum-forum internasional serta sebuah upaya lebih untuk mengkomodifikasi alam: “Apapun persoalan iklim, dagang karbon adalah solusinya”.
UU Cipta Kerja semakin menegaskan bahwa paradigma dan praktik pembangunan ekonomi eksploitatif dan rakus yang digerakkan oleh mesin-mesin oligarki, mengeksploitasi alam dan manusia secara bersamaan demi akumulasi profit dan untuk melanggengkan kekuasaan para oligarkh.
Sektor Pendidikan
Pandemi COVID-19 juga berdampak pada situasi pendidikan di Indonesia, di mana terjadi penurunan akses dan kualitas pendidikan. Menurut data Kemendikbud pada bulan Februari 2021, terdapat sekitar 46.230 sekolah yang terdampak pandemi dan mengalami penurunan kualitas pembelajaran. Selain itu, terdapat juga penurunan partisipasi sekolah di beberapa daerah akibat pembatasan sosial dan pengurangan jam belajar di sekolah.
Selain akibat kondisi kahar di atas, situasi pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah akses, kualitas, dan kesetaraan pendidikan. Berikut adalah data terkait situasi pendidikan di Indonesia: Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, angka partisipasi sekolah (APS) di Indonesia mencapai 98,67%, dengan angka ini menunjukkan bahwa hampir semua anak usia sekolah di Indonesia bersekolah. Namun, terdapat perbedaan antara provinsi yang satu dengan yang lainnya, di mana beberapa provinsi di Indonesia masih memiliki tingkat partisipasi yang rendah.
Kesenjangan pendidikan antara perkotaan dan perdesaan juga masih cukup signifikan. Menurut Deputi Bidang
Statistik Sosial (BPS) Ateng Hartono, sebagian besar usia 15 tahun ke atas di kota atau sebanyak 38,87% berpendidikan sekolah menengah atau sederajat, sedangkan di desa masih berpendidikan sekolah dasar atau sederajat. Hanya 22,45% penduduk di pedesaan yang menamatkan pendidikan hingga sekolah menengah atau sederajat, sedangkan sebanyak 36,22% yang menamatkan pendidikan SD atau sederajat.
Di perguruan tinggi, apalagi pasca disahkannya Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang, kampus berlomba bertransformasi menjadi kampus PTNBH atau modeling corporate university, Negara melepaskan tanggung jawab pembiayaan dan memberikan wewenang kepada kampus untuk mencari pendanaannya sendiri. Disanalah transaksional profesor kehormatan, honoris causa, kemitraan, dosen NIDK menjadi lahan pencarian profit dan bargaining politik. Seperti yang terjadi terhadap kampus-kampus yang telah menerapkan PTNBH. Komersialisasi dan kenaikan biaya pendidikan tinggi yang konsisten setiap tahun; komodifikasi penelitian dan kerja-kerja akademik, karena semakin masif melakukan hilirisasi riset dan link and match dengan korporasi; outsourcing pekerja akademik, pengaturan mengenai kepegawaian dosen maupun non-dosen dalam PTNBH diatur secara seragam menuju “tenaga kontrak” universitas/institut yang mengeksploitasi; dan, manufakturisasi metode pembelajaran dan kurikulum pendidikan yang membungkam kekritisan/kebebasan akademik serta menumbuhkan neo fasis dalam pendidikan.
Demokrasi
Indonesia mengalami kemerosotan demokrasi dan HAM dalam 3 tahun belakangan ini, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai upaya pembungkaman ruang demokrasi yang dilakukan negara menggunakan aparatur negara untuk mengamankan seluruh agenda yang menghamba terhadap pasar bebas.
Setelah di akhir tahun lalu RKUHP disahkan menjadi Undang-Undang, potensi pembungkaman ruang demokrasi di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Masih diakomodirnya pasal-pasal karet yang secara eksplisit membatasi kebebasan berekspresi. Sebelum RKUHP disahkan saja pemerintah melalui aparat keamanan telah banyak membatasi ruang demokrasi, mulai dari kriminalisasi, represif, sampai banyaknya korban berjatuhan meregang nyawa. Akibat demokrasi yang semakin dibatasi, rakyat mengalami ketakutan menyampaikan pendapat di ruang publik. Bahkan hal itu juga dibatasi sampai di ruang digital, seperti kriminalisasi menggunakan UU ITE.
Salah satu kasus pelanggaran yang terbaru terhadap kebebasan berekspresi tercermin pada kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS) dan Haris Azhar dengan dugaan pidana pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan. Kasus ini juga hanya satu dari sekian banyak serangan yang ditujukan kepada gerakan rakyat di Indonesia. Hasil riset yang dibuat oleh sembilan organisasi masyarakat sipil yang menjadi landasan kritikan Fatia dan Haris juga seharusnya dibiarkan menjadi diskursus publik terkait permasalahan tambang di Papua, bukan justru dijadikan dasar pelaporan tindak pidana.
Dalam momentum Hari Buruh Sedunia (May Day), aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menuntut pemerintah untuk:
- Cabut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang;
- Cabut seluruh kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi (UU Minerba, UU P3, KUHP, UU Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya, UU IKN, UU Pertanian dan Revisi UU ITE;
- Cabut Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global;
- Sahkan RUU PPRT dan Berikan Perlindungan Bagi Buruh Migran;
- Lawan Komersialisasi Pendidikan Melalui Revisi UU Sisdiknas;
- Ratifikasi Konvensi ILO No.190 tentang Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Dunia Kerja;
- Berikan Jaminan Kepastian Kerja dan Perlindungan Seluruh Pengemudi Ojol Maupun Driver Online Lainya;
- Berikan Jaminan Kepastian Kerja Bagi Pekerja Pemerintahan Non PNS (Penyuluh KB, Penyuluh perikanan, Tenaga kesehatan dan Guru Honorer);
- Hapus Sistem Kerja Kontrak, Outsourcing dan Sistem Magang;
- Stop Upah Murah, Berlakukan Upah layak Nasional;
- Turunkan Harga-harga (BBM, Sembako, Minyak Goreng, PDAM, Listrik, Pupuk, PPN dan Tol);
- Berikan Jaminan Sosial atas Pendidikan, Kesehatan, Rumah, Fasilitas Publik, dan Penyediaan Pangan Gratis Untuk Masyarakat;
- Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Hentikan Perampasan Sumber-sumber Agraria, Stop pemberlakuan Bank Tanah dan perampasan tanah Adat;
- Lawan Pembungkaman Demokrasi di Lingkungan Akademik;
- Wujudkan Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis; dan,
- Hentikan Kriminalisasi Terhadap Gerakan Rakyat dan Tuntaskan Pelanggaran HAM masa lalu.
#MeiBerlawan
#MeiLAwanOligarki
#CabutUUCiptaKerja
#MayDay2023