Jakarta, 10 Juli 2013. Pemberitaan seputar kasus perkosaan kepada wartawati sebuah media di Jakarta masih belum melindungi korban. Selain hanya mengambil keterangan dari kepolisian tanpa memberikan perspektif korban, media cenderung menyudutkan wartawati korban perkosaan sebelum kepolisian menuntaskan hasil penyelidikannya.
Dalam pantauan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, sebagian besar media mengeksploitasi kasus perselingkuhan, bukan fokus mengungkap kebenaran atas perkosaan terhadap korban.“Media seharusnya tidak terburu-buru menyimpulkan kasus perkosaan sebelum ada kesimpulan penyidikan yang lengkap, tidak sepotong-sepotong,” kata Sekretaris AJI Jakarta Dian Yuliastuti.
AJI Jakarta dan LBH Jakarta mengingatkan media untuk tetap melindungi korban perkosaan dengan tidak menyebutkan inisial korban, tidak menggunakan bahasa dan judul berita yang menyudutkan dan menghakimi korban. Perspektif yang berempati pada korban sangat penting agar tidak menambah trauma pada korban perkosaan. Perspektif ini harus selalu dijaga sampai ada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan dari kepolisian dan pengadilan.
Berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkapolri) Nomor 3 Tahun 2008 tentang pembentukan ruang pelayanan khusus bagi anak perempuan, korban perkosaan seharusnya diperiksa oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. Namun faktanya, pemeriksaan terhadap kasus ini dilakukan oleh Unit Kejahatan dan Kriminalitas. “Dalam peraturan tersebut, kepolisian dilarang untuk menghakimi saksi dan korban, serta menjaga kerahasiaan pemeriksaan hingga ada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan,” kata Tommy Albert Tobing, kuasa hukum korban dari LBH Jakarta.
AJI Jakarta dan LBH Jakarta juga menghimbau kepada kepolisian untuk memproses kasus yang melibatkan kelompok rentan seperti anak dan perempuan berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008.
Informasi:
Tommy Albert Tobing, kuasa hukum LBH Jakarta: 081315554447
Dian Yuliastuti, Sekretaris AJI Jakarta: 08119628652