Tepat pada Mayday 2019 kali ini, kita bisa melihat bahwa nasib kaum pekerja masih terus ditindas dan dilemahkan. Kendati Pancasila dan UUD NRI 1945 sudah mengamanatkan pemenuhan hak kesejahteraan rakyat yang di dalamnya termasuk kesejahteraan kaum pekerja, nyatanya hingga kini Pemerintah Indonesia belum sepenuh hati untuk melaksanakan amanat konstitusi tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari tindakan pemerintah yang belum bisa menjamin dan melindungi hak para pekerja. Meski pun sudah ada Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang di dalamnya memuat aturan hubungan ketenagakerjaan, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, hingga sanksi hukum pidana perburuhan, nyatanya hingga kini pelanggaran hak-hak pekerja masih terus terjadi.
Pelanggaran hak-hak pekerja ini bisa dilihat dari masih banyaknya praktik pembayaran upah pekerja di bawah standar upah minimum propinsi, pemberangusan serikat pekerja, tidak membayar upah lembur, tidak mendaftarkan pekerja sebagai peserta BPJS, pembiaran atas kecelakaan kerja, dan lain sebagainya. Padahal kesemuanya adalah tindak kesjahatan pidana, yang telah di atur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.
Misalnya dalam praktek pembayaran upah pekerja di bawah standar upah minimum tanpa melalui mekanisme persetujuan penangguhan upah oleh Gubernur setempat, hal tersebut merupakan pelanggaran hukum dan tindak kejahatan. Walaupun ada kesepakatan antara pekerja/buruh atau Serikat buruh/pekerja dengan perusahaan terkait besaran nominal upah yang dibawah standar upah minimum, hal tersebut tetaplah sebuah kejahatan.
Di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, ada banyak sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap pengusaha/perusahaan yang melanggar hak pekerja, baik yang sifatnya administratif maupun sanksi pidana penjara dan denda. Kesemua aturan sanksi pidana perburuhan ini diatur dalam Pasal 183 hingga Pasal 189 Undang-undang Ketenagakerjaan.
Selain itu setidaknya ada 46 (empat puluh enam) jenis tindak pidana perburuhan yang terdapat dalam 6 (enam) peraturan perundang-undangan berikut: UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. Namun lagi-lagi sangat disayangkan dalam prakteknya jarang sekali mekanisme pidana dalam undang-undang ini digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengimplementasikan norma yang ada tersebut.
Meski pun sudah ada norma aturannya, sayangnya hukum pidana perburuhan dalam Undang-undang Ketenagakerjaan ini jarang ditegakkan oleh aparat penegak hukum. Akibatnya, hukum ketenagakerjaan kerap dilanggar terus menerus oleh perusahaan, karena ketiadaan penegakan hukum yang tegas. Sepanjang tahun 2017 terdapat 1287 korban tindak pidana perburuhan di daerah Jabodetabek dan Karawang yang mengadukan kasusnya ke kepolisian. Ini menunjukkan banyaknya laporan dan pengaduan tindak pidana ketenagakerjaan yang diajukan oleh pekerja/buruh ke lembaga Kepolisian, namun tidak dapat ditindaklanjuti dengan berbagai alasan: ketidakmengertian aparat Polisi atas hukum pidana ketenagakerjaan, ketiadaan penyidik khusus, dan lain sebagainya.
Bahkan dalam beberapa kasus lainnya, Kepolisian cenderung memaksa penyelesaian lewat jalan ‘perdamaian’, mengarahkan kasus-kasus pidana yang menimpa buruh tersebut untuk diselesaikan melalui jalur Pengadilan Hubungan Industrial, karena dianggapnya masalah pelanggaran hak normatif pekerja ini semata-mata masalah perselisihan keperdataan industrial biasa. Padahal pidana perburuhan bukanlah bersifat ultimum remidium, namun memiliki karakter premium remidium yang dapat ditegakkan tanpa harus menunggu proses administrative pengawasan ketenagakerjaan maupun proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Di sisi yang lain, ketika para buruh melakukan advokasi dan aksi massa untuk mendapatkan hak-haknya, justru mereka seringkali ‘dikriminalisasi’ oleh aparat kepolisian. Hal ini yang membuat penegakan hukum justru bersifat parsial alias berat sebelah dan pandang bulu, tidak imparsial. Pada akhirnya, praktik penegakan hukum yang parsial ini adalah pelanggaran nyata terhadap cita-cita Pancasila dan UUD NRI 1945 yang hendak mewujudkan keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, advokasi mendorong penegakan hukum perburuhan yang menjamin dan melindungi hak-hak pekerja yang sejak lama didesak akan terus disuarakan oleh Gerakan Serikat Buruh dan Masyarakat Sipil tak terkecuali LBH Jakarta .
Berdasarkan uraian permasalahan di atas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak :
- Pemerintah cq Kepolisian Republik Indonesia untuk membentuk desk khusus/ unit yang menangani penegakan hukum pidana perburuhan di seluruh instansi Kepolisian di wilayah Republik Indonesia;
- Pemerintah Republik cq. Kepolisian Republik Indonesia untuk menegakkan hokum perburuhan dengan tegas di seluruh wilayah Indonesia dengan menindaklanjuti seluruh pengaduan dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran hak buruh yang dilakukan oleh pengusaha/perusahaan;
- Pengusaha/Perusahaan di seluruh Indonesia untuk tunduk dan patuh terhadap seluruh ketentuan hukum yang ada di Undang-undang Ketenagakerjaan dan memenuhi hak-hak pekerja;
Dengan adanya penegakan hukum pidana perburuhan, maka hak-hak pekerja akan semakin terlindungi dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagai cita-cita utama keberadaan Republik Indonesia dapat terwujud. Selamat hari buruh internasional Mayday 2019. Hidup buruh! Hidup rakyat Indonesia! []
CP: (Nelson: 081396820400, Prili: 081296988357)