SIARAN PERS
Rabu, 19 Februari 2025 – Perwakilan mahasiswa, advokat, dan keluarga korban penyiksaan mengajukan permohonan informasi publik kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal ini adalah dampak dari keputusan DPR RI pada rapat Paripurna tanggal 18 Februari 2025 yang menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi RUU inisiatif DPR RI. Sayangnya, dalam proses penyusunan ini, tidak ada proses partisipasi publik yang bermakna.
Muhammad Fawwaz Farhan Farabi, Ketua BEM FH UI selaku pemohon menyatakan, “Kami amat menyayangkan DPR RI yang main petak umpet sama rakyat, padahal perlu diingat bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, ada yang namanya partisipasi publik yang bermakna dalam setiap tahapannya, yaitu hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangan pendapatnya, serta untuk diberikan jawaban. Jadi sebetulnya harusnya tanpa kami mintakan permohonan informasi publik seperti ini, sudah menjadi kewajiban DPR RI untuk membuka draftnya.” “Ini menambah daftar panjang RUU yang dibuat secara ugal-ugalan.” Fawwaz berharap, nantinya pembahasan KUHAP dapat melibatkan publik, sebab ia menyatakan, “KUHAP milik publik, dan sudah seharusnya begitu, maka pembahasannya harus melibatkan publik!” “Mahasiswa juga sering menjadi korban ‘penculikan’ aparat, bukan lagi ‘penangkapan’, karena surat-suratnya tidak ada. Nah di situ ada masalah mendasar dari KUHAP, makanya publik perlu dilibatkan dalam pembahasannya,” kata Mahasiswa FH UI tersebut.
Astatantica Belly Stanio selaku pemohon yang berlatar belakang profesi advokat menyatakan, “Sebagai bagian dari penegak hukum, peran advokat perlu dikuatkan dalam KUHAP. Penguatan peran advokat merupakan upaya memperbaiki KUHAP. Fakta bahwa dalam proses penyidikan banyak terjadi pelanggaran HAM, sehingga diperlukan peran advokat sebagai pendamping orang yang berhadapan dengan hukum. Beberapa isu advokat yang perlu diperbaiki dalam KUHAP adalah pentingnya memasukkan konsep miranda rules sehingga orang yang berhadapan dengan hukum memiliki hak diam, hingga mendapatkan pendamping hukum, kemudian peran advokat dalam proses penyidikan juga perlu diperkuat. Akses bantuan hukum harus diperluas bagi setiap orang yang berhadapan dengan hukum, tidak hanya bagi orang yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih. Oleh karenanya, KUHAP perlu dibahas bersama dengan masyarakat. KUHAP kita sekarang memang bermasalah, tapi kalau pembahasan RUU KUHAP tidak melibatkan publik seluas-luasnya, bisa jadi justru RUU KUHAP akan menambah masalah dalam sistem peradilan pidana kita.”
Rusin selaku pemohon pribadi menyatakan, “Harusnya wakil rakyat itu ya atasannya adalah rakyat, sudah sepantasnya draftnya dibuka kepada publik. Saya sebagai orang tua dari korban penyiksaan dan salah tangkap, yaitu Sdr. Fikri, sebagai warga negara, saya merasa perlu untuk dilibatkan dalam pembahasan RUU KUHAP, agar ke depannya hal seperti kni tidak terjadi lagi. Kami, rakyat Indonesia ingin tahu, draftnya ini seperti apa. Kalau misalnya ada yang tidak benar, bisa diperbaiki. Saya misalnya sebagai keluarga korban penyiksan bisa juga mengevaluasi berdasarkan pengalaman yang saya miliki di lapangan. Libatkanlah masyarakat, karena kekuasan tertinggi di tangan rakyat. DPR harus ingat, sebagai wakilnya rakyat, maka suara rakyat harus didengar. Segera buka draft dan naskah akademiknya.” Rusin sendiri merupakan orang tua M. Fikri, salah seorang korban penyiksaan pada tahun 2021-2022.
Ketiganya berharap DPR RI segera membuka naskah akademik dan Draft RUU KUHAP sebagai langkah nyata untuk mewujudkan partisipasi publik yang bermakna. Draft Naskah Akademik dan Draft RUU merupakan informasi publik yang dikelola oleh badan publik dalam konteks legislatif, yaitu DPR RI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sesuai dengan Pasal 22 ayat (7) UU KIP, DPR RI wajib memberikan jawaban terhadap permohonan informasi tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
Arif Maulana, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bidang Advokasi menyatakan bahwa hal ini menambah praktik buruk legislasi yang dilakukan DPR RI. “YLBHI mendesak DPR RI untuk segera membuka draf NA dan RUU KUHAP ke Publik. KUHAP adalah regulasi penting untuk memastikan hak atas keadilan masyarakat dijamin dan penegakan hukum bisa transparan dan bertanggungjawab. KUHAP tidak boleh seolah hanya urusan DPR Pemerintah dan APH saja. Kuhap adalah kepentingan bersama warga negara untuk memastikan penegakan hukum pidana berlangsung secara berkeadilan dan menjunjung tinggi HAM. Menutup akses informasi publik terhadap dokumen legislasi tersebut sama saja menutup dan melanggar hak konstitusional warga untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pembentukan UU sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.” “Jika ada upaya menutup-nutupi, kita patut menduga ada hak rakyat yang mau ‘dicuri’ atau ‘dikorupsi’ karena Penyusunan UU akan mengatur kepentingan publik. DPR RI semestinya belajar dari kesalahan penyusunan regulasi sebelumnya dan tidak melakukan korupsi legislasi seperti halnya yang terjadi pada penyusunan UU bermasalah sebelumnya seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, atau UU KPK. Informasi legislasi seperti NA dan RUU KUHAP adalah hak konstitusional warga negara bahkan tanpa perlu diminta semestinya informasi terkait legislasi harus dibuka oleh DPR atau Pemerintah. Sayangnya beberapa tahun terakhir justru diabaikan.” kata Arif.
Narahubung:
Astantica Belly Stanio, LBH Jakarta.