Putusan Mahkamah Konstitusi yang meluaskan objek praperadilan, di antaranya memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, ternyata tidak direspon cepat oleh Mahkamah Agung, dengan mengeluarkan peraturan.
Sehingga, putusan MK yang tujuannya membuat kepastian hukum, justru saat ini menimbulkan masalah baru karena lambannya langkah MA tersebut.
“Permasalahan paling utama terletak pada pembatalan tentang sejauh mana pembuktian dapat dilakukan oleh para pihak dan sejauh mana hakim dalam memeriksa dan memutuskan pembuktian itu,” kata anggota Koalisi Sapu Koruptor dari LBH Jakarta, Algifari Aqsa kepada wartawan, di Jakarta Pusat, Selasa (16/6/2018).
Menurutnya atas ketidakhadiran peraturan dari MA itu membuat sistem pembuktian praperadilan semakin kabur atau tidak seragam. Contohnya antara penanganan Praperadilan Budi Gunawan dan Novel Baswedan.
Diterangkan Aqsa, dalam putusan praperadilan atas penetapan tersangka Budi Gunawan misalnya, hakim Sarpin memutus hal-hal yang hanya relevan dibuktikan di pokok perkara, seperti pemaknaan terhadap aparat penegak hukum dan penyelenggara negara dalam pasal 11 UU KPK.
Pasca putusan Sarpin dan Putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014, terdapat dua tersangka yang kemudian mengajukan praperadilan yaitu Ilham Arief Sirajuddin dan Hadi Poernomo. Dua nama terakhir juga menang dalam praperadilan.
Di lain pihak, kata Aqsa, kekacauan hukum semakin terlihat saat putusan praperadilan atas penangkapan dan penahanan Novel Baswedan. Padahal diuji di tempat sama yakni Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Hakim Zuhairi, memutus penangkapan dan penahanan Novel adalah sah, meskipun, lanjut dia, konsekuensi putusan tersebut memperbesar peluang penyalahgunaan kewenangan penagak hukum.
“Dalam putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada yang salah jika pasal yang digunakan dalam surat perintah penyidikan berbeda atau diubah dengan pasal yang digunakan untuk menangkap yang bersangkutan (Novel),” kata Aqsa.
Penanganan yang berbeda ini justru menimbulkan kecurigaan bahwa Pengadilan Negeri Jaksel tidak pro pemberantasan rasuah.
Untuk itu, tekan Aqsa, pihaknya mendorong agar MA segera mengeluarkan Peraturan MA yang mengatur tentang acara praperadilan pascaputusan MK meluaskan objek praperadilan.
“KY dan Badan Pengawasan MA juga harus mengadakan monitoring terhadap proses peradilan, khususnya pemeriksaan praperadilan, yang diadakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” ujarnya. (tribunnews.com)