Jakarta (ANTARA) – Lembaga swadaya masyarakat Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP) menyatakan penyiksaan dalam proses hukum oleh aparat kepolisian masih tinggi melihat dari tingginya pengaduan dari masyarakat dalam beberapa tahun terakhir.
“Dalam survei yang kami lakukan selama tiga tahun terakhir, ditemukan bahwa pelaku utama adalah aparat kepolisian,” kata aktivis KuHAP Maruli di Jakarta, Rabu.
Dikatakannya pula, fenomena adanya penyiksaan dalam proses hukum seperti saat penangkapan, pemeriksaan hingga penahanan bagaikan fenomena gunung es yang sedikit terungkap padahal ada banyak kasus serupa yang terus terjadi.
“Korbannya terutama anak-anak, orang miskin yang tidak punya akses bantuan hukum, serta mahasiswa yang biasanya disiksa saat melakukan unjuk rasa,” katanya.
Maruli menjelaskan, alasan yang digunakan polisi biasanya pelaku tidak kooperatif sehingga harus dipaksa mengaku dengan menggunakan kekerasan.
Sepanjang 2012 saja, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah meneliti sekitar 100 responden anak di DKI Jakarta yang 82 persennya mengaku mengalami penyiksaan saat penangkapan, 84 persennya saat proses berkas acara pemeriksaan (BAP) dan 48 persennya mengalami penyiksaan saat penahanan.
Sementara itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyatakan ada sekitar 19 kasus penyiksaan yang menewaskan hingga 169 narapidana dalam proses hukum.
Padahal, menurut Maruli, momen peringatan hari anti penyiksaan sedunia yang jatuh 26 Juni ini seharusnya bisa mengingatkan pemerintah, juga aparat kepolisian, mengenai ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia yang ditandatangani 15 tahun lalu.
Ia berharap, upaya pembaharuan hukum acara pidana yang saat ini tengah dibahas di DPR RI (termasuk juga revisi KUHP) merupakan momentum yang baik guna menutup celah praktik penyiksaan yang selama ini terus terjadi.(tp)