jakarta, kompas – Ibnu Su’ud, jaksa pada sidang kasus rumah negara Perusahaan Umum Pegadaian yang melibatkan dua janda pahlawan, membantah telah melakukan kriminalisasi kasus ini.
”Tak ada kriminalisasi. Daripada kasusnya terkatung-katung, kasihan mereka. Lebih baik hukum ditegakkan,” ujarnya kepada wartawan seusai sidang pertama eksepsi dakwaan yang selesai pukul 12.45 di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (Jaktim), Rabu (17/3).
Sidang pertama mengadili terdakwa Soetarti Soekarno (78) dipimpin Ketua Majelis Hakim Djumadi dan dua anggota, Thamrin Tarigan dan Marhalam Purba. Sidang kedua mengadili Rusmini (77) dengan Ketua Majelis Hakim Thamrin Tarigan dengan hakim anggota, Thamrin dan Marhalam. Suami Soetarti dan Rusmini adalah pahlawan, eks tentara pelajar yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta Selatan.
Beberapa saat sebelum sidang, wartawan menerima siaran pers dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, yang ditandatangani Ki Agus Ahmad, Alghiffari Aqsa, dan Vicky Silvanie. Isinya, LBH Jakarta menuduh penegak hukum telah mengkriminalisasi klien mereka, Soetarti dan Rusmini.
Dalam sidang, Ibnu memaparkan, Perum Pegadaian menyediakan rumah dinas bagi para pegawainya yang masih aktif, antara lain rumah dinas di Jalan Cipinang Jaya IIB Nomor 38, RT 7 RW 7, Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jaktim, dan rumah dinas di Jalan Cipinang Jaya IIC/12 RT 6 RW 7 Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jaktim. Kedua rumah itu masing-masing ditempati oleh pegawai Perum Pegadaian, Soekarno, suami Soetarti, dan Ahmad Kusaini, suami Rusmini.
Soekarno pensiun pada Oktober 1997 dan meninggal Maret 2003. Kusaini pensiun pada tahun 1985 dan meninggal pada 4 Februari 1998. Mengacu pada peraturan direksi nomor BG 4/13/1 tanggal 1 Mei tahun 1992, jaksa menjerat kedua terdakwa dengan Pasal 167 Kitab Undang- undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman penjara sembilan bulan atau Pasal 12 Undang-Undang No 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
Menanggapi tuduhan itu, Koordinator Bidang Hukum Forum Koordinasi Penghuni Perumahan Negara Prastopo mengatakan, jaksa tidak menyebut sama sekali mengenai Peraturan Pemerintah (PP) No 40/1994, yang diubah menjadi PP No 31/ 2005 tentang Rumah Negara. PP itu menyebutkan, setelah 10 tahun, seorang pegawai negeri bisa mengajukan permohonan untuk membeli rumah negara atau rumah dinas.
Namun, kata Ki Agus, dari 17 pegawai Perum Pegadaian, hanya 4 orang yang ditolak permohonannya, 13 pegawai lainnya dikabulkan. ”Ini namanya diskriminasi,” katanya.
Menurut Prastopo, kalau sudah ada preseden, Perum Pegadaian wajib memberikan kesempatan kepada kedua janda untuk membeli rumah dinas yang ditempatinya. ”Negara wajib mengabulkan permohonan keluarga Soetarti dan Rusmini yang tinggal di rumah dinas itu lebih dari 50 tahun.(WIN)
Sumber berita: www.cetak.kompas.com