Senin (18/07/2022), telah berlangsung sidang perkara anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang mengikuti aksi 11 April 2022 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pleidoi) Tim Penasihat Hukum ABH.
Pada agenda sebelumnya, ABH dituntut 6 bulan penjara oleh Penuntut Umum atas dakwaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Darurat 12/1951 hanya karena kedapatan membawa pisau lipat.
Baca juga: ”Polisi Reaktif dan Melestarikan Pasal Karet pada Kasus Holywings”Adapun nota pembelaan yang dibacakan Tim Penasihat Hukum ABH diberi judul “Mengadili Anak, Mengadili Masa Depannya”. Hal tersebut didasarkan pada proses hukum yang tidak mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dan asas kepentingan terbaik anak. Sehingga berpotensi menganggu kelangsungan hidup dan kehidupan anak di masa depan.
Dalam nota pembelaan, Tim Penasihat Hukum memaparkan beberapa hal yang terungkap dalam persidangan. Mulai dari pola-pola sweeping yang kerap dilakukan oleh pihak kepolisian dalam beberapa gelaran aksi penyampaian pendapat yang secara spesifik langsung menyasar pelajar/anak.
Pihak kepolisian tidak sekedar melakukan sweeping. Namun secara serampangan, dilakukan pula penggeledahan badan tanpa mematuhi rambu-rambu hukum acara yang ditetapkan oleh KUHAP.
Selain itu, dalam persidangan terungkap pula praktik-praktik penahanan terhadap ABH yang dilakukan dengan kedok penitipan dalam rangka rehabilitasi sosial. Dalam kasus ini, ABH dititipkan di BRSAMPK Handayani sejak 12 April 2022 hingga 22 Juni 2022. Namun, penitipan tersebut tidak dihitung sebagai penahanan dengan dalih bahwa yang dilakukan adalah penitipan untuk rehabilitasi sosial. Tak sampai di situ, ABH juga pernah ditahan oleh Penuntut Umum di tahanan Polres Metro Jakarta Pusat dengan cara digabung bersama orang dewasa. Hal tersebut dilakukan dengan alasan tidak ada fasilitas penahanan khusus anak.
Pasca persidangan, Fadhil Alfathan salah satu Tim Penasihat Hukum ABH menyampaikan bahwa:
“Kasus ini memperjelas beberapa permasalahan dalam UU SPPA yang kerap dijadikan ceruk kesewenang-wenangan penegak hukum. Mulai dari pembatasan kriteria diversi yang tidak secara kualitatif menilai tindak pidanannya, hingga praktik-praktik kotor penahanan untuk menyiasasti limitasi waktu penahanan yang secara ketat diatur UU SPPA.”
Lebih lanjut, Fadhil juga mengatakan bahwa:
“Terdapat pola-pola sweeping yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk menghalang-halangi bahkan merepresi partisipasi anak dalam ruang-ruang demokrasi jalanan (aksi penyampaian di muka umum).”
Sidang akhirnya ditutup dan akan dilanjutkan kembali pada Selasa, 19 Juli 2022 dengan agenda pembacaan tanggapan penuntut umum atas nota pembelaan tim penasihat hukum (Replik).
Jakarta, 18 Juli 2022
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
Fadhil Alfathan | [email protected]
Charlie Albajili | [email protected]
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.