Perempuan berinisial SM (52) di Bogor yang masuk ke dalam Masjid Al Munawaroh Bogor tanpa memakai sepatu dan membawa anjing, dilaporkan ke polisi oleh pengurus masjid. SM dilaporkan melakukan pencemaran nama baik terhadap pengurus masjid terkait tuduhan bahwa suaminya dinikahkan di masjid tersebut. Beberapa hari kemudian Kepolisian Resort Bogor, berdasarkan hasil pemeriksaan medis memastikan bahwa SM mengalami gangguan jiwa jenis Skizofrenia.[1]
Merujuk definisi Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, Penyandang Skizofrenia digolongkan sebagai disabilitas mental, yang merupakan bagian dari gangguan kejiwaan. Namun demikian, Kepolisian Resor Bogor masih menetapkan SM sebagai tersangka dan melakukan penahanan kepada yang bersangkutan. Saat ini, SM justru ditetapkan sebagai tersangka kasus penodaan agama, bukan disidik atas dasar tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana dilaporkan pengurus Masjid.
Tidak hanya itu, meskipun SM telah dinyatakan memiliki gangguan kejiwaan, Kepolisian menegaskan akan terus memproses perkara ini hingga ke pengadilan.
Merespon hal tersebut LBH Jakarta berpendapat sebagai berikut:
-
- Kepolisian harus menjamin dan melindungi hak SM sebagai penyandang disabilitas mental yang berhadapan dengan hukum. Ia berhak memperoleh penyediaan aksesibilitas khusus dalam pelayanan peradilan termasuk hak atas bantuan hukum ataupun hak-hak tersangka lainnya. Hal tersebut diatur dalam KUHAP maupun UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
- Kepolisian Resort Bogor dan Kejaksaan Negeri Kab. Bogor harus berhati-hati dalam menerapkan hukum:
a. Penerapan pasal penodaan agama berdasarkan Putusan MK tahun 2009 menyatakan bahwa pasal Penodaan Agama sudah tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi dan harus dievaluasi keberlakuannya mengacu pada konteks, serta iklim demokrasi di Indonesia hari ini. Di samping itu, rezim penggunaan pasal pidana “Penodaan Agama” sudah tidak lagi relevan berdasarkan evolusi Resolusi Dewan HAM 16/18, yang menggeser “Penodaan Agama” menjadi “Memerangi Intoleransi”. Resolusi ini diinisiasi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Dewan HAM PBB pada tahun 2011, dikarenakan penggunaan istilah “Penodaan Agama” telah banyak memperoleh pertentangan dari berbagai negara.
Di sisi yang lain, apa yang dilakukan oleh SM dengan marah-marah di mesjid, membawa anjing, dan seterusnya, tidaklah memenuhi unsur pidana penodaan agama yang selama ini berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, penerapan hukum pidana penodaan agama terhadap SM sama sekali tidak tepat. Ini membuktikan, bahwa keberadaan pasal pidana penodaan agama justru menjadi duri dalam daging alam demokrasi, dan membuktikan bahwa pasal ini bisa diterapkan secara sewenang-wenang terhadap siapa pun.
b. Dalam pendekatan hukum pidana, “Kemampuan bertanggung jawab/kecakapan subyek hukum” menjadi pertimbangan mendasar. Sebelum melanjutkan proses penyidikan dan melimpahkan berkas kepada kejaksaan, pihak kepolisian harus menjadikan hasil pemeriksaan medis SM sebagai perhatian khusus. Hasil pemeriksaan medis menyatakan SM adalah seorang disabilitas mental serta perlu dilihat kembali apakah pada saat peristiwa, SM dalam keadaan kambuh (relaps) atau tidak. Kepolisian dalam pemeriksaannya harus mampu menganalisis niat dan pengetahuan SM untuk menguji ada tidaknya unsur kesengajaan yang dilakukan SM dalam melakukan tindak pidana. Apakah SM memiliki niat untuk melakukan pencemaran nama baik terhadap pengurus masjid, artinya apakah ada itikad jahat (mens rea/evil mind) dari SM terhadap pengurus masjid atau umat Islam yang ada di masjid. Pasal 44 KUHP dalam hal ini harus dijadikan acuan. Merujuk pada hasil pemeriksaan tim dokter, SM menderita Skizofrenia aranoid dan Skizoafektif. Skizofrenia Paranoid adalah salah satu penyakit psikosis, di mana pikiran penderita menolak kenyataan dan cenderung mencurigai keadaan sekitar. Keadaan ini sangat memengaruhi cara penderitanya berpikir dan berperilaku. Namun sayangnya, hal itu tidak dapat diprediksi kapan dan bagaimana munculnya.[2]
Skizoafektif sendiri adalah mental yang rancu, yang ditandai dengan adanya gejala gangguan afektif. Gangguan skizoafektif adalah penyakit dengan gejala psikotik yang persisten, seperti halusinasi atau delusi. Skizoafektif terjadi bersama‐sama dengan masalah suasana (mood disorder) seperti depresi, manik, atau episode campuran.[3]
Semestinya, alasan pemaaf dapat diberlakukan kepada SM karena dia terbukti mengalami gangguan kejiwaan dan dalam kondisi kambuh (relaps). Hal tersebut membuat SM dihadapan hukum dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Oleh karenanya, SM tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya secara hukum pidana atau dengan kata lain,kesalahan pidana yang dilakukannya secara hukum dimaafkan;
- Penahanan terhadap yang bersangkutan justru berpotensi mengakibatkan pelanggaran terhadap jaminan pemenuhan dan perlindungan hak atas kesehatan SM yang mengalami disabilitas mental jenis Skizofrenia. SM dalam kondisi saat ini justru membutuhkan perawatan khusus serta memperoleh kesamaan dan kesempatan secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya;
- Merujuk Pasal 44 ayat (2) KUHP, hakim di pengadilan memiliki kewenangan untuk memutuskan kecakapan dan tentang dapat tidaknya terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Namun meski begitu, dalam proses penyidikan, kepolisian sebagai penyidik memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan dengan alasan penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka atau peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2)
- Dalam hal ini LBH Jakarta mendesak Kejaksaan Negeri Kab. Bogor in casu Jaksa Penuntut Umum selaku dominus litis (pengendali perkara) untuk mengawasi penyidikan yang dilakukan Kepolisian Resort Bogor serta memastikan adanya proses yang mengedepankan pendekatan restorative justice dalam penanganan kasus SM ini. Pemenuhan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, penghormatan hak penyandang disabilitas dan prinsip-prinsip hak asasi manusia harus dikedepankan.
Mempertimbangkan pada hal-hal di atas, LBH Jakarta meminta agar :
- Kepolisian tidak melakukan penahanan dan berdasarkan hasil pemeriksaan medis yang membuktikan bahwa SM dalam kondisi kambuh, melepaskan SM dengan pertimbangan ketidakcakapan hukum akibat kesehatan SM sebagai penyandang disablilitas mental Skizofrenia (relaps) yang berhak atas keadilan dan perlindungan hukum;
- Kepolisian segera menghentikan proses penyidikan dengan menerbitkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan), dikarenakan tidak adanya bukti yang cukup kuat dan tidak terpenuhinya unsur subyek hukum yang cakap (kemampuan pertanggungjawaban pidana) serta tidak terpenuhinya unsur pasal pidana penodaan agama dalam peristiwa tersebut;
- Masyarakat dapat menahan diri dan menyikapi permasalahan ini dengan kepala dingin dan jernih. Selain itu, masyarakat diharapkan dapat lebih mengerti, memahami, bijaksana, serta terbuka terhadap permasalahan kesehatan mental dan kejiwaan, termasuk masalah yang dialami oleh penyandang disabilitas mental tipe Skizofrenia seperti SM.
Jakarta, 08 Juli 2019
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH Jakarta)
[1] Lihat, “Observasi Rampung, Perempuan Pembawa Anjing Dipastikan Gangguan Jiwa”, Link URL: https://www.jawapos.com/jabodetabek/06/07/2019/observasi-rampung-perempuan-pembawa-anjing-dipastikan-gangguan-jiwa/
[2] Lihat, “Mengenal Skizofrenia Paranoid yang Dialami Wanita Pembawa Anjing Masuk Mesjid, “Link URL: https://sains.kompas.com/read/2019/07/02/121247223/mengenal-skizofrenia-paranoid-yang-dialami-wanita-pembawa-anjing-masuk-masjid, diakses 6 Juli 2019
[3] Lihat, Miranda Rades dan Anggraeni Janar Wulan, “Skizoafektif Tipe Campuran”, dimuat pada Jurnal Medula Unila, Volume 5, Nomor 2, Agustus 2016