Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) kembali menggelar sidang dugaan tindak pidana narkotika dengan terdakwa Dendy Apriyandi pada senin (9/4). Agenda persidangan memasuki pembacaan nota pembelaan. Tim penasihat hukum Dendy dari LBH Jakarta meminta kepada Majelis Hakim agar Dendy dibebaskan dari dakwaan penuntut umum (vrijspraak). Pada agenda sebelumnya, jaksa penuntut umum telah membacakan tuntutannya kepada terdakwa.
Dalam nota pembelaannya, Dendy membantah semua fakta hukum maupun dakwaan dan tuntutan yang dibacakan sebelumnya oleh jaksa penuntut umum. Sebelumnya, di persidangan Dendy mengaku bahwa barang bukti narkoba tersebut bukan miliknya.
“Saya merasa dijebak dalam kasus ini, dijebak melakukan perbuatan yang tidak pernah saya lakukan”, ungkap Dendy di persidangan.
Dendy Apriyandi mengungkapkan, bahwa pada mulanya barang yang ia kuasai yakni dompet maupun mobil, tidak ada barang apa pun selain barang-barang biasa. Namun setelah penguasaannya berpindah sejenak ke tangan Riski, selaku konselor rehabilitasinya, baru kemudian ditemukan barang bukti seperti sabu setelah digeledah oleh polisi. Dalam pembelaannya, Dendy Apriyandi menduga bahwa kasus ini direkayasa.
Tim penasihat hukum Dendy diwakili oleh Arif Maulana dari LBH Jakarta dalam pembelaannya juga mempertanyakan masalah kompetensi relatif majelis hakim dalam mempersidangkan perkara tindak pidana ini.
“Bahwa dugaan tindak pidana dan tempat kejadian perkaranya berada di Ciseeng, Kabupaten Bogor. Semestinya dari awal, majelis hakim tidak berwenang untuk mengadili perkara ini. Semestinya, majelis hakim PN Jakarta Pusat menyerahkan pemeriksaan perkara ini ke Pengadilan Negeri Cibinong, bila memang hendak diperiksa perkaranya”, ujar Arif Maulana.
Arif juga menambahkan, bahwa semenjak awal proses penyelidikan maupun penyidikan terhadap Dendy Apriyandi mengandung berbagai kejanggalan. Ini dilihat dari proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat Polsek Senen, yang jauh-jauh datang ke wilayah Kabupaten Bogor.
Selain itu, menurut berkas perkara atas kasus ini, saksi dari aparat Polsek Senen menyatakan bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikannya didasarkan pada laporan masyarakat. Namun pada saat di lapangan, apa yang dilakukan oleh aparat Polsek Senen adalah operasi tangkap tangan, bukan didasarkan pada penyelidikan yang sah.
“Dan di pemeriksaan persidangan sebelumnya, jaksa penuntut umum tidak pernah menghadirkan sama sekali saksi pelapor yang konon ada dalam berkas perkara. Hal ini tentunya menjadi janggal, karena argumentasi dasar penyelidikan dan penyidikan atas kasus ini didasarkan pada adanya laporan masyarakat. Semestinya kalau memang benar ada laporan, saksi pelapor dihadirkan juga dalam persidangan ini”, ungkap Arif Maulana.
Selain itu, Arif Maulana mengungkapkan ketika kasus ini dilimpahkan dari kejaksaan ke pengadilan, terdakwa tidak mendapatkan hak untuk mendapatkan Surat Dakwaan, dan Berkas Perkara sejak awal pelimpahan perkara ke Pengadilan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 143 Ayat (4) KUHAP yang menyebutkan bahwa turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.
Selain masalah tidak dilimpahkannya berkas perkara kepada terdakwa, Arif Maulana selaku penasihat hukum Dendy mempermasalahkan obyektifitas saksi-saksi dari polisi yang dicatatkan di berkas perkara dan dihadirkan di persidangan. Menurutnya, dan merujuk kepada beberapa putusan Mahkamah Agung, saksi-saksi dari pihak polisi tidaklah objektif, yang karenanya mesti diragukan kebenaran kesaksiannya meski dibawah sumpah hakim.
Salah satu poin utama dalam nota pembelaan Dendy maupun tim penasihat hukum, ialah tidak dihadirkannya Riski selaku saksi kunci dalam perkara ini. Riski yang merupakan konselor rehabilitasi bagi Dendy, adalah orang yang menguasai barang milik Dendy sebelum Dendy akhirnya digeledah dan ditangkap oleh polisi dengan tuduhan penguasaan narkotika jenis sabu-sabu.
Berdasarkan pengakuan Dendy sendiri, bahwa dirinya sama sekali tidak menguasai maupun mengkonsumsi narkotika, dan tidak ada niat sedikit pun untuk melakukan perbuatan tersebut. Hal ini juga turut dibuktikan dengan tes urin yang dilakukan Dendy sesaat setelah ditangkap, bahwa tes urin atas dirinya menunjukkan hasil negatif.
“Maka dari itu, dengan tidak terpenuhinya prosedur penegakan hukum formil secara sah dan tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh Dendy, kami dari Tim Penasihat Hukum memohon kepada Majelis Hakim PN Jakarta Pusat untuk menerima Nota Pembelaan (pledooi) Penasihat Hukum dan Dendy Apriyandi secara keseluruhan”, ujar Arif Maulana kepada Majelis Hakim PN Jakarta Pusat.
Sebelumnya, dalam surat tuntutan, jaksa penuntut umum menuntut Dendy karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menyimpan atau menguasai narkotika jenis sabu. Jaksa penuntut umum juga menuntut Dendy dengan dakwaan subsidair Pasal 112 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jaksa Penuntut Umum tidak jadi menuntut Dendy sebagai pengedar dalam dakwaan primairnya. (Rasyid)