Pada Minggu, 9 April 2017 pada saat buruh yang mayoritas adalah buruh perempuan dari PT Panarub Dwikarya yang tergabung dalam Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu Gabungan Serikat Buruh Independen (SBGTS-GSBI) melakukan aksi piket di Tugu Adipura Tangerang, kepolisian dan Satpol PP membubarkan paksa aksi yang sudah berlangsung selama lima tahun ini. Pembubaran paksa oleh aparat keamanan ini didasarkan dari Peraturan Walikota Nomor 2 Tahun 2017 tentang Larangan Demonstrasi di hari Sabtu dan Minggu. Dikeluarkannya peraturan ini tidak memiliki alasan kuat, kecuali ambisi merampas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Buktinya, kegiatan hiburan di Tugu Adipura yang menggunakan sound system keras tetap dibiarkan, sedangkan aksi piket yang biasa dilakukan massa buruh harus dibubarkan secara paksa.
Pembubaran paksa oleh aparat keamanan disertai dengan perampasan poster-poster milik buruh, massa aksi yang dibentak-bentak, dan puncaknya adalah tindakan kekerasan yang dilakukan Kasat Intel Polres Tangerang, AKBP Danu Wiyata Subroto terhadap Emilia Yanti. Pada saat Emilia menjelaskan aksi kepada aparat keamanan, AKBP Danu Wiyata Subroto menampar Emelia. Pembatasan waktu demonstrasi dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Kasat Intel Polres Tangerang mengancam demokrasi dan kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh buruh perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya.
Peraturan Walikota Tangerang No 2 Tahun 2017 tentang Larangan Demonstrasi di hari Sabtu dan Minggu merupakan Bentuk Pengekangan atas Hak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Demonstrasi yang dilakukan oleh buruh merupakan hak yang melekat dan tidak dapat dipisahkan. Melalui demonstrasi, buruh memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar oleh pengusaha maupun pemerintah. Jaminan perlindungan berserikat dan melakukan kegiatan serikat pekerja, –salah satunya demonstrasi– telah diatur dalam Pasal 8 Konvensi Ekosob yang telah diratifikasi dengan UU No 11 Tahun 2005. Demonstrasi yang merupakan bentuk dari menyampaikan pendapat di muka umum, manisfestasi dari hak atas kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat 2 dan 3 UUD 1945, Pasal 19 Konvensi Sipol sebagaimana telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, dan Pasal 23 ayat (2), Pasal 25, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pembatasan hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum hanya dapat dilakukan oleh Undang-Undang, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral umum, atau perlindungan atas hakhak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Indonesia memiliki hukum yang secara khusus mengatur tata cara menyampaikan pendapat di muka umum, yaitu UU No 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Ketentuan peraturan perundangundangan ini telah memberikan pembatasan terhadap tempat dan waktu yang tidak boleh dijadikan sasaran atau tidak boleh berlangsung aksi demonstrasi namun tidak membatasi waktu pelaksanaan demonstrasi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terdapat hierarki atau penjenjangan peraturan perundang-undangan. Hierarki ini didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Secara spesifik berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Walikota baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan dan materi muatannya tidak bertentangan dengan peraturan diatasnya.
Oleh karena itu, Peraturan Walikota Tangerang No 2 Tahun 2017 bertentangan dengan peraturan di atasnya dan karenanya peraturan ini cacat hukum.
Tindakan Kekerasan yang dilakukan oleh Kasat Interl Polres Tangerang bertentangan dengan Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kasat Intel Polres Tangerang yang menampar Emilia saat memperjuangkan hak berdemonstrasi bertentangan dengan Perkap Nomor 8 tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Anggota kepolisian dapat menggunakan tindakan kepolisian dalam menjalankan tugasnya, namun penggunaan tindakan tersebut bersifat limitatif. Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, terdapat 6 prinsip yang harus dipenuhi dalam mengambil tindakan kekuatan, yaitu legalitas (harus sesuai hukum), nesesitas (penggunaan kekuatan memang perlu diambil), proporsionalitas (dilaksanakan seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tindakan POLRI), kewajiban umum (Petugas bertindak dengan penilaiaannya sendiri berdasarkan situasi & kondisi yang bertujuan menciptakan kamtibmas), preventif (mengutamakan pencegahan), dan masuk akal (tindakan diambil dengan alasan yang logis berdasarkan ancaman yang dihadapi).
Oleh karenanya, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kasat Intel Polres Tangerang selain bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia juga merupakan tindakan yang tidak sesuai hukum, tidak perlu, tidak proporsional, subyektif, represif, dan tidak masuk akal.
Pembubaran Paksa Aksi Demontrasi merupakan langkah mundur demokrasi di Indonesia
Peraturan Walikota Tangerang No 2 Tahun 2017 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, oleh karena itu tidak dibenarkan tindakan pembubaran paksa aksi demonstrasi yang didasari oleh peraturan tersebut. Dalam hal ini, kepolisian seharusnya tetap menjunjung tinggi UU No 8 Tahun 1998 dalam menjamin pelaksanaan kemerdekaan menyampaikan pendapat di Indonesia.
Diketahui bersama di saat yang bersamaan dengan peserta demonstrasi, kegiatan hiburan di Tugu Adipura yang menggunakan sound system keras tetap dibiarkan oleh kepolisian. Karena itulah tindakan pembubaran paksa diikuti dengan perampasan alat aksi dan maki-makian oleh polisi merupakan tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, UU No 8 Tahun 1998, Konvenan Ekosob, Konvenan Sipol, dan juga Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Berdasarkan argumentasi di atas, Peraturan Walikota Tangerang No 2 Tahun 2017 merupakan peraturan yang cacat hukum baik dari substansi maupun formil. Peraturan ini menjadi ancaman keberlangsungan demokrasi di Indonesia karena menjadikan dasar pembubaran paksa demontrasi yang dilakukan oleh buruh perempuan yang tergabung dalam Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu Gabungan Serikat Buruh Independen (SBGTS-GSBI) dan legitimasi kekerasan yang dilakukan oleh Kasat Intel Polres Tangerang kepada Emilia Yanti.
Karena itulah, LBH Jakarta menuntut agar:
- Walikota Tangerang untuk mencabut Peraturan Walikota Tangerang No 2 Tahun 2017 dan menjamin pelaksanaan demokrasi dalam bentuk penyampaian pendapat sesuai dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Kepala Kepolisian Resor Metro Tangerang agar memecat dari jabatannya dan menghukum Kasat Intel Polres Tangerang karena telah melakukan tindakan yang tidak etis, tidak sesuai hukum, tidak perlu, tidak proporsional, subyektif, represif, dan tidak masuk akal;
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar mengarusutamakan perlindungan warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum, bukan menggunakan pendekatan represif untuk mengancam kemerdekaan berpendapat;
- Mahkamah Agung untuk membatalkan Peraturan Walikota Tangerang No 2 Tahun 2017 tentang Larangan Demonstrasi di hari Sabtu dan Minggu karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.