Siaran Pers Nomor: 485/RILIS-LBH/VII/2019
LBH Jakarta Desak Pemerintah untuk Membatalkan MoU dan Menghentikan Pemberian Data Perseorangan Kependudukan kepada Lembaga-lembaga Pihak Ketiga Tanpa Izin Pemilik Data yang Berpotensi Merugikan Warga Negara Indonesia.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada (22/7) menyatakan, pihaknya telah memberikan data kependudukan dan e-KTP penduduk Indonesia yang terekam oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri RI kepada sejumlah perusahaan-perusahaan.[1] Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa data-data kependudukan tersebut diberikan kepada perusahaan BUMN maupun swasta, seperti perbankan nasional, perusahaan asuransi, dan lembaga-lembaga lain[2], dengan total sejumlah 1227 badan hukum swasta[3].
Ironisnya selang tak lama kemudian, muncul pemberitaan bahwa di masyarakat sendiri telah terjadi praktik jual beli data e-KTP hingga jutaan jumlah data.[4] Pada posisi ini, data pribadi masyarakat sudah kehilangan “keprivasian” dan “kerahasiaan” dengan dialihkannya ke pihak ketiga. Hal ini menimbulkan keresahan di masyarakat karena pengalihan data pribadi e-KTP tersebut menjadi semakin mudah. Akibatnya, data pribadi tersebut menjadi semakin rentan untuk disalahgunakan serta berpotensi merugikan seluruh warga negara Indonesia secara massal.
Baik Mendagri Tjahjo Kumolo serta Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif berkilah bahwa tindakan pemerintah memberikan akses data kepada pihak ketiga sudah sesuai kewenangannya. Mereka beralasan hal yang mereka lakukan itu diatur dalam ketentuan Pasal 79 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, Permendagri Nomor 61 Tahun 2015 tentang Persyaratan, Ruang Lingkup dan Tata Cara Pemberian Hak Akses Serta Pemanfaatan NIK, Data Kependudukan dan KTP-elektronik, dan Pasal 10 PP 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Secara jelas Permendagri Nomor 61 Tahun 2015 menyatakan bahwa, badan hukum yang dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah hanyalah Badan Hukum Indonesia yang memberikan pelayanan publik, dan dilakukan secara terbatas. Kemendagri sendiri telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkannya. Mendagri menjelaskan bahwa tindakan ini dilakukan untuk mencegah dilakukannya penipuan terhadap korporasi. Jelas bahwa perspektif yang digunakan negara bukan hadir untuk melindungi kepentingan hak atas data pribadi warga negara Indonesia, justru mengorbankannya untuk melindungi kepentingan segelintir korporasi.
Meski pun pemerintah memiliki dasar hukum kewenangan untuk mengalihkan kepemilikan data perorangan dan e-KTP warga negara Indonesia, namun yang menjadi tindakan melawan hukum adalah hal tersebut tidak diiringi dengan kesepakatan dan pilihan pribadi pemilik data dan e-KTP. Hal ini tidak diatur dalam regulasi administrasi kependudukan itu sendiri. Hal ini jelas melanggengkan penghilangan hak pribadi seseorang sebagai pemilik data (Rights of Data Subject) untuk memilih apakah akses datanya hendak diberikan kepada pihak ketiga atau tidak. Artinya, tindakan Pemerintah bersifat sewenang-wenang dan sudah menerobos batas hak atas privasi berupa perlindungan data pribadi warga negara Indonesia.
LBH Jakarta menilai bahwa tindakan pemerintah ini tidak diiringi dengan perlindungan efektif dan maksimal terhadap keamanan data pribadi warga negara Indonesia. Pengalihan data perseorangan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) tidak diiringi dengan jaminan spesifik hukum hak privasi warga negara dan perlindungan data pribadi. Akibatnya, warga negara Indonesia berpotensi menjadi korban penyalahgunaan dan kooptasi data pribadi secara massal.
LBH Jakarta menilai bahwa regulasi administrasi kependudukan dan tindakan yang memberikan kewenangan Pemerintah RI untuk mengalihkan data pribadi e-KTP warga negaranya telah bertentangan dengan Konstitusi, yang mana dengan tegas telah menyatakan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang ada di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Akibatnya, keamanan warga negara Indonesia dipertaruhkan dan berpotensi dirugikan. Hal ini tentu telah melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi, tidak boleh dilanggar privasinya, dan berhak mendapatkan perlindungan hukum atas hak privasi.
LBH Jakarta mencatat akibat dari ketiadaannya regulasi spesifik dan jelas yang mengatur perlindungan data pribadi sebagai bagian dari hak privasi warga negara telah memunculkan kasus-kasus penyalahgunaan data pribadi yang berujung pada teror dan intimidasi dan kekerasan, seperti yang terjadi pada kasus teror pinjaman online fintech[5], pelecehan seksual online[6], persekusi warga negara[7], hingga penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan politik elektoral.[8]
Atas kekacauan dan masalah perlindungan privasi warga negara Indonesia yang kini sedang dipertaruhkan, LBH Jakarta mendesak agar:
- Presiden memerintahkan Mendagri dan Dirjen Dukcapil membatalkan MoU-MoU pemberian akses data kependudukan perorangan, NIK dan e-KTP Warga Negara Indonesia yang dilakukan tanpa izin kepada pihak ketiga (perusahaan, badan hukum, dll.);
- Pemerintah Indonesia melalui Kemenkomminfo dan Kepolisian melakukan pengawasan ketat dan menindak tegas seluruh tindakan penyalahgunaan penyebaran data pribadi warga negara;
- Pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi guna menjamin penghormatan dan perlindungan hak konstitusional warga negara Indonesia secara khusus hak atas privasi dari penayalahgunaan data pribadi bahkan seperti yang dilakukan oleh negara saat ini.
Jakarta, 31 Juli 2019
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA
[1] Lihat, “Beri Akses Data Kependudukan ke Sejumlah Perusahaan, Ini Penjelasan Mendagri”, Link URL: https://nasional.kompas.com/read/2019/07/22/12360931/beri-akses-data-kependudukan-ke-sejumlah-perusahaan-ini-penjelasan-mendagri
[2] Lihat, “Mendagri: 1166 Lembaga Telah Manfaatkan Data Kependudukan untuk Layanan”, Link URL: https://nasional.kompas.com/read/2019/01/16/06021581/mendagri-1166-lembaga-telah-manfaatkan-data-kependudukan-untuk-layanan
[3] Link diperoleh dari Media Sosial Resmi Ombudsman, https://www.instagram.com/p/B0R4WObD9rg/
[4] Lihat, “Viral Jual Beli Data E KTP dan KK Warga Ditelusuri Polisi”, Link URL: https://news.detik.com/berita/d-4642366/viral-jual-beli-data-e-ktp-dan-kk-warga-ditelusuri-polisi . Lihat juga, “Viral Data E KTP dan KK Warga Diperjualbelikan, ini Respons Kemendagri”, Link URL: https://news.detik.com/berita/d-4641739/viral-data-e-ktp-dan-kk-warga-diperjualbelikan-ini-respons-kemendagri
[5] Lihat, “Korban Pinjaman Online di Indonesia Gugat OJK Karena Data Pribadi Disebarkan”, Link URL: https://www.tempo.co/abc/3282/korban-pinjaman-online-di-indonesia-gugat-ojk-karena-data-pribadi-disebarkan
[6] Lihat, “Pemerintah Didesak Lindungi Korban Kekerasan Gender Online”, Link URL: https://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-didesak-lindungi-korban-kekerasan-gender-online/4763033.html
[7] Lihat, “AJI Jakarta Kecam Intimidasi Terhadap Jurnalis”, Link URL: https://news.detik.com/berita/d-4287165/aji-jakarta-kecam-intimidasi-terhadap-jurnalis
[8] Lihat, “Cerita Makelar Pemburu KTP Pemilu 2019”, Link URL: https://kumparan.com/banjarhits/cerita-makelar-pemburu-ktp-pemilu-2019-1550314617634215576