Pada 4 Februari 2022 lalu, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah telah menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (“Permenaker 2/2022”). Aturan baru terkait Jaminan Hari Tua, (“JHT”), ini mensyaratkan adanya pencairan dana JHT pada usia 56 tahun, dengan alasan karena sudah terakomodirnya Jaminan Kehilangan Pekerjaan (“JKP”) yang dapat dicairkan apabila pekerja sudah tidak bekerja lagi. Permenaker No. 2/2002 merupakan pengulangan dari hal yang serupa pada 2015. Pada waktu itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 yang melarang pencairan JHT sebelum usia pensiun yang menuai penolakan keras dari pekerja dan direvisi pemerintah melalui PP 60 Tahun 2015.
Apabila mengacu pada Permenaker sebelumnya yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (“Permenaker 19/2015”), pencairan dana JHT dapat diberikan pada peserta saat mencapai usia pensiun termasuk juga peserta yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja, dan peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
LBH Jakarta menilai bahwa hadirnya Permenaker 2/2022 telah menurunkan standar perlindungan terhadap buruh dan sudah selayaknya ditolak, adapun alasan penolakan Permenaker 2/2022 yakni sebagai berikut :
- Pertama, pemerintah tidak dapat membatasi buruh untuk mengambil JHT hanya pada saat memasuki usia 56 tahun, dikarenakan dana jaminan sosial yang dikelola oleh pemerintah merupakan milik buruh sepenuhnya yang iurannya telah dibayarkan melalui pemberi kerja. Hal ini sesuai dengan pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
- Kedua, dalam Permenaker 2/2022, JHT tidak dapat diberikan kepada pekerja yang mengundurkan diri. Ini menjadi catatan penting pada perburuhan di Indonesia. Selain keputusan mengundurkan diri adalah hak buruh, akan tetapi seringkali ditemukan perusahaan yang mengintimidasi para buruh untuk mau menandatangani surat pengunduran diri dengan tujuan untuk menghindari kewajiban membayarkan pesangon. Apabila demikian, maka buruh yang telah mengundurkan diri maupun yang telah diputus hubungan kerjanya menjadi tidak dapat mengambil JHT saat berakhirnya hubungan kerja.
- Ketiga,Pemerintah beralasan bahwa perubahan JHT ini terkait dengan JKP yang diselenggarakan. Padahal, implementasi JKP baru akan dimulai pada tanggal 22 Februari 2022 mendatang. JKP sendiri dalam PP Nomor 37 Tahun 2021 menyebutkan bahwa dana JKP diperoleh dari 0,46 persen upah pekerja, 0,22 persen dibiayai pemerintah, dan 0,24 dari rekomposisi dana Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Upah pekerja yang digunakan untuk perhitungan iuran adalah upah yang terakhir dilaporkan pengusaha kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan batas 5 juta. Apabila upah diatas 5 juta, maka upah tetap terhitung 5 juta;
- Keempat, secara sosial kebijakan baru ini akan berdampak pada pasar tenaga kerja secara luas. Pasalnya, pandemi sudah membuat pelemahan ekonomi pada beberapa sektor. Sektor-sektor usaha yang terdampak secara masif oleh pandemi banyak yang melakukan efisiensi dengan gaji yang dipotong hingga bentuk efisiensi kegiatan usaha lain yang secara psikis mengurangi produktivitas pekerja. Dikhawatirkan ada gelombang pengunduran diri yang besar sebelum Permenaker 2/2022 ini diterapkan pada Mei mendatang. Bukan tanpa alasan, para pekerja dilapangan sudah menolak aturan ini secara masif. Karena penolakan ini, dikhawatirkan juga ada pengunduran diri massal agar para pekerja dapat mencairkan JHT tanpa menunggu usia 56 tahun. Data menurut BPS, per Agustus 2021 ada lebih dari 45 juta pekerja yang berusia 25-39 tahun. Pemerintah perlu berhati-hati dengan angka jumlah pekerja yang akan cukup lama menunggu usia 56 tahun;
- Kelima, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam pengelolaan uang, khususnya jasa keuangan non-bank berkurang. Kasus BUMN Jiwasraya dan Asabri dapat dianggap sebagai penyebabnya. Kepercayaan yang berkurang tersebut harusnya dapat diperhatikan pemerintah agar tidak mengeluarkan kebijakan strategis terkait keuangan non-bank, dalam hal ini JHT Pekerja.
- Keenam, Penghapusan pencairan JHT secara cepat dan segera oleh Permenaker No. 2/2002 bertentangan dengan jaminan perlindungan manfaat dan kepastian kerja serta hak-hak pasca pemutusan hubungan kerja yang dijamin dalam UU 13 Tahun 2003, UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Ratifikasi Konvensi Hak Ekonomi Sosial Budaya dan Konvensi ILO No 158 Tahun 1982 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja.
Dari uraian diatas, maka dengan jelas bahwa Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 akan berdampak pada turunnya standar perlindungan buruh, maka LBH Jakarta menyatakan:
- Menolak dengan tegas Permenaker Nomor 2 Tahun 2022;
- Menuntut Menteri Tenaga Kerja mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022;
- Menuntut agar JHT dapat dicairkan kapanpun tanpa ada persyaratan usia peserta JHT;
- Mencabut Undang-Undang Cipta Kerja beserta aturan turunannya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
20 Februari 2022