LBH Jakarta meluncurkan hasil penelitian “Potret PHK Massal Buruh Garmen”, Rabu 24 Agustus 2016 di Hotel Acacia. Penelitian ini merupakan respon LBH Jakarta terhadap labilnya kondisi buruh di sektor industri garmen. Peluncuran penelitian ini dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Indrasari Tjandraningsih, dan Maruli Tua Rajagukguk.
Diskusi dalam penelitian kali ini diawali oleh pemaparan Indrasari yang menyampaikan bahwa industi garmen sangat strategis dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Melalui data dari Asosiasi Tekstil Indonesia disebutkan terdapat 2,7 juta buruh yang bekerja di sektor garmen. Jumlah tersebut merupakan 15,5 % dari jumlah keseluruhan buruh di Indonesia. Data tersebut menunjukan bahwa banyaknya buruh yang menyandarkan hidupnya dengan bekerja pada sektor industri garmen.
LBH Jakarta melalui penelitian ini mencatat terdapat sebanyak 10.043 orang buruh garmen di PHK selama kurun waktu 2015-2016 di wilayah DKI Jakarta, Kota Tanggerang dan Kabupaten Tanggerang. Hal ini mengindikasikan terdapat kondisi yang tidak beres dalam pertumbuhan perekonomian di sector industri garmen mulai dari investasi perusahaan sampai kepada pengelolaannya. Masalah besar yang kemudian mencuat adalah nasib para buruh yang terkena PHK. Selama ini pemenuhan hak-hak mereka hanya menjadi prioritas kesekian dari perusahaan. Berbagai macam alasan dikeluarkan perusahaan untuk tidak memenuhi hak para buruh yang terkena PHK seperti alasan merugi dan efisiensi.
Menanggapi hal tersebut Eriksen sebagai anggota Badan Pengawas Ketenagakerjaan dari Kementerian Tenaga Kerja menyampaikan bahwa kementeriannya selalu berusaha menciptakan kondisi yang sehat dalam sektor industri baik garmen maupun industri lainnya. Namun dalam kenyatannya terdapat regulasi-regulasi yang selama ini malah menjadi permasalahan tersendiri yang dihadapi oleh buruh, dan regulasi tersebut berlaku sampai dengan hari ini. Regulasi terkait pengupahan contohnya, seringkali tidak ada tindakan tegas dari Kementerian Ketenagakerjaan bagi perusahaan yang mengupah buruhnya di bawah UMP. Hal yang sering terjadi pula adalah pengusaha melarikan diri, menelantarkan buruh dan pabrik begitu saja saat menggalami kerugian sehingga tidak ada pemenuhan hak buruh apabila terjadi PHK massal seperti yang terjadi pada buruh di sektor industri garmen.
“Peran Badan Pengawas Ketenagakerjaan terbatas hanya pada menyampaikan nota pemeriksaaan saat terjadi permasalahan pengusaha nakal dengan buruh dan tidak ada wewenang untuk menindak pengusaha nakal tersebut belum lagi jumlah Pengawas Ketenagakerjaan yang terbatas di setiap provinsi di Indonesia,” kata Eriksen menanggapi hasil penelitian.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat banyak bagi pemerintah melalui berbagai kementerian terkait seperti menteri perindustrian yang mengeluarkan ijin usaha, juga BKPM yang mengawasi penanaman modal asing dalam upaya melindungi kepentingan buruh dalam pemenuhan hak-hak buruh.
Oky Wiratama menyampaikan bahwa buruh garmen dengan mayoritas perempuan menjadi sangat rentan untuk di PHK. Mereka juga sering mendapat perlakuan-perlakuan pelecehan dan tidak setara dalam melakukan pekerjaannya.
Turut hadir di dalam acara peluncuran penelitian kali ini adalah FBLP (Federasi Buruh Lintas Pabrik), SPN ( Serikat Pekerja Nasional) dan KASBI. Para buruh yang hadir mengapresiasi peluncuran hasil penelitian terkait PHK massal buruh garmen ini. Mereka berharap penelitian ini mampu mendorong berbagai pihak untuk kedepannya melakukan segala sesuatu agar kejadian-kejadian serupa tidak lagi berulang terhadap buruh garmen di Indonesia. (Bonny)