Jakarta, 5 Desember 2025 – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta kembali menggelar Diskusi Publik Hari HAM yang kedua pada Jumat sore dengan mengangkat tema “Refleksi Orang Muda: Ancaman Kebebasan Sipil dan Langgengnya Praktik Impunitas” di Gedung LBH Jakarta. Acara yang berlangsung sejak pukul 15.00 WIB ini menjadi ruang berbagi temuan dan refleksi atas memburuknya kondisi negara hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, terutama pasca-Aksi 25-31 Agustus 2025. Diskusi publik ini tidak terlepas dari kerja kolektif Koalisi Kebebasan Berserikat, dalam mendorong pemajuan dan perlindungan hak-hak konstitusional warga untuk berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
Diskusi publik ini menjadi forum diseminasi Penelitian yang berjudul “Praperadilan dalam Cengkeraman Kekuasaan: Menguji Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana”. Penelitian ini diterbitkan oleh LBH Jakarta dan ditulis oleh Tim Penulis beranggotakan empat orang, yaitu Daniel Winarta dan Hilbram Rahmansyah Bayusasi serta Fawwaz Farhan dan Muhammad Bagir selaku Mahasiswa FH UI yang tengah melakukan magang di LBH Jakarta.
Daniel Winarta, selaku Pengacara Publik LBH Jakarta dan Fawwaz Farhan yang turut menjadi penulis penelitian ini, bertindak sebagai pemapar untuk menjelaskan analisis dan temuannya terhadap peserta diskusi publik. Selain itu, turut hadir Octania Wynn (Peneliti ELSAM), Asfinawati, dan Bivitri Susanti sebagai penanggap.
Penelitian ini menempatkan praperadilan sebagai ruang krusial untuk mengevaluasi tindakan upaya-upaya paksa negara dalam hukum acara pidana, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penetapan tersangka. Namun temuan penelitian menunjukkan adanya jurang yang terlalu dalam antara norma dan praktik: praperadilan kerap hanya memeriksa syarat-syarat formil (administratif), bukan substansi (kebenaran materiel) atas pelanggaran hak. Melalui studi kasus terhadap empat tahanan politik Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, Khariq Anhar, dan Syahdan Hussein penelitian ini memperlihatkan pola yang konsisten terjadinya pelanggaran prosedural yang semestinya membatalkan tindakan aparat, tetapi justru dilegitimasi melalui putusan hakim. Pelanggaran seperti surat perintah yang terbit menyusul, bukti yang tidak jelas diperoleh, serta penetapan tersangka yang tidak melalui mekanisme pengawasan yudisial, tidak ditempatkan sebagai persoalan fundamental dalam pertimbangan pengadilan.
Selain itu, penelitian juga menemukan bahwa hakim lebih mengandalkan keberadaan dokumen administratif sebagai indikator sah-tidaknya tindakan negara, alih-alih menilai apakah tindakan tersebut telah menghormati hak dasar individu sesuai prinsip due process, necessity, dan proportionality. Konsep-konsep HAM yang mestinya menjadi fondasi pengujian justru terpinggirkan oleh narasi keamanan dan ketertiban umum.
Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme praperadilan telah kehilangan fungsi asalnya sebagai mekanisme check and balance dan berubah menjadi forum validasi prosedur. Penelitian turut mencatat sejumlah faktor eksternal berdasarkan pendekatan sosio-legal yang memengaruhi arah putusan, termasuk atmosfer politik pasca-demonstrasi, kultur hierarkis lembaga penegak hukum, dominasi narasi negara atas ruang publik, dan lemahnya akuntabilitas institusional di tubuh kepolisian. Kombinasi faktor-faktor tersebut membentuk siklus yang justru makin hari makin regresif: aparat semakin menormalisasi tindakan di luar hukum, hakim praperadilan semakin permisif terhadap terampasnya hak warga, dan warga negara pun kian rentan menghadapi pelemahan kebebasan sipil.
Daniel Winarta membuka pemaparannya dengan menjelaskan alasan mengapa diseminasi riset praperadilan ini menggunakan terminologi “tahanan politik”, alih-alih terminologi “tahanan” saja.
“Kami menilai bahwa para Tahanan Politik yang masih di salemba adalah orang yang dihukum dan menjalani pidana karena aktivitas politiknya, yang mana aktivitas tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan sehingga harus dipidana,” ujar Daniel di awal pemaparannya.
Lebih dalam lagi, Daniel mengangkat isu tentang demonstrasi sebagai hak asasi manusia. Ia menjelaskan bahwa hak berdemonstrasi adalah hak kebebasan berserikat dan berkumpul yang seharusnya dilindungi oleh negara.
“Namun masalahnya, rezim Prabowo menilai demonstrasi atau perbedaan pendapat sebagai pidana. Bisa dilihat dengan munculnya berbagai tuduhan teroris dan makar terhadap aksi demonstrasi,” tegas Daniel dalam diskusi.
Fawwaz menambahkan terkait upaya-upaya paksa dalam hukum pidana yang dapat dipraperadilankan. Menurut Fawwaz, pada aspek penangkapan, ia mengingatkan bahwa standar bukti permulaan yang cukup seharusnya merujuk pada dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur oleh KUHAP.
“ICCPR mensyaratkan agar setiap orang segera dibawa ke hadapan hakim untuk menguji keabsahan penangkapannya. Sayangnya KUHAP baru tidak mengakomodir ketentuan itu,” ujarnya.
Ia juga menyoroti prosedur penggeledahan yang kerap diselewengkan. Penyidik, kata dia, menggunakan frasa “patut dikhawatirkan melarikan diri” sebagai tameng untuk melakukan penggeledahan tanpa perlu izin ketua pengadilan. Praktik ini ditemukan dalam berbagai putusan dan kerap kali berujung pada pelanggaran hak atas privasi hingga kerentanan terhadap kekerasan seksual.
Setelah Fawwaz, Daniel melanjutkan bahwa putusan-putusan tahanan politik, yaitu Khariq Anhar, Muzaffar Salim, Delpedro Marhaen, dan Syahdan Husein, menyimpan beberapa masalah. Dalam kasus Khariq Anhar, kata dia, hakim seolah memperbolehkan penangkapan dengan alasan kemendesakan padahal belum jelas memiliki dua alat bukti atau tidak.
Daniel melanjutkan dengan menyinggung Putusan Praperadilan Muzaffar Salim di mana permohonan disusun dengan menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi rujukan penting dalam menguji penetapan tersangka. Ia menjelaskan bahwa putusan tersebut menegaskan perlunya pemeriksaan seseorang sebagai calon tersangka sebelum status tersangka ditetapkan.
“Dengan diperiksa lebih dulu, seseorang punya ruang membela diri dan argumentasinya dapat dipertimbangkan,” lanjut Daniel.
Akan tetapi, Daniel mencatat adanya perbedaan penafsiran di antara hakim. Hakim Rio Barten, misalnya, menilai bahwa pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengikat sehingga yang berlaku hanya amar putusannya. Sikap itu bertolak belakang dengan sejumlah putusan pengadilan sebelumnya yang mewajibkan penyidik untuk wajib melakukan pemeriksaan calon tersangka terlebih dahulu sebelum melakukan penetapan tersangka, seperti kasus Eddy Hiariej dan Setya Novanto.
“Jika dibiarkan, disparitas seperti ini dapat mengancam kepastian hukum itu sendiri dan menyebabkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum,” katanya.
Daniel juga menyoroti kasus Delpedro Marhaen, yang dinilainya memperlihatkan kejanggalan dalam konstruksi pembuktian awal. Penyidik menyatakan telah memperoleh bukti yang cukup, tetapi jarak antara penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan hanya berlangsung dua hari, sementara penetapan tersangka dilakukan sehari setelahnya. Daniel mempertanyakan dari mana alat bukti itu diperoleh. Berdasarkan berkas yang ada, keterangan saksi disebut diperoleh oleh penyidik sejak 25 Agustus hari ketika terjadi demonstrasi besar yang berujung pada penangkapan sekitar 500 orang, termasuk anak-anak.“Sulit membayangkan bagaimana polisi bisa melakukan wawancara saksi yang dijadikan bukti pada tanggal 28, ketika situasi lapangan sedang begitu kacau. Ada jeda waktu yang tidak dapat dijelaskan di sini,” kata Daniel.
Sebagai penanggap pertama, Octania Wynn yang juga aktif meneliti di Perkumpulan ELSAM menyampaikan dua isu. Pertama, potret regresifnya kebebasan sipil yang tercermin jelas dalam penangkapan Delpedro dan Laras imbas aksi 25-31 Agustus 2025. Kedua, ruang kritik terhadap pemerintah juga semakin menipis.
“Tindakan Depledro dan kawan-kawan adalah aktivitas yang dijamin konstitusi. Pemerintah tahu itu. Namun negara justru tampil sebagai aktor yang meregresi kebebasan sipil,” ujarnya.
Penanggap kedua, Bivitri Susanti, mengapresiasi penelitian LBH Jakarta yang menempatkan analisis putusan sebagai dasar evidence-based advocacy. Pendekatan sosio-legal, kata Bivitri, memungkinkan pembacaan hukum yang lebih terang dan tidak terjebak dalam kebingungan yang muncul bila hukum dipisahkan dari konteks sosialnya.
“Evidence seperti ini adalah bekal penting untuk advokasi ke depan. Jangan berhenti di analisis semata,” ujarnya. Bivitri juga menyoroti penjelasan tim peneliti mengenai penggunaan istilah tahanan politik, istilah yang historisnya melekat pada era pasca-1965. Ia menilai banyak aktivis dan pendamping hukum belum memiliki kerangka politik yang memadai untuk membaca fenomena ini.
“Kalau kita tidak jeli memahami konteks tahanan politik hari ini, penangkapan aktivis bisa dianggap hal biasa. Kita bisa menjadi banal ketika aktivis ditangkap, seolah itu sesuatu yang normal,” ujarnya mengingatkan.
Penanggap ketiga, Asfinawati, juga mengapresiasi kecepatan tim peneliti dalam menghasilkan analisis atas putusan praperadilan kasus Delpedro dan kawan-kawan. Ia menyebut presentasi penelitian itu memberi harapan di tengah situasi hukum yang kian muram.
“Saya sering putus asa melihat hukum hari ini, tapi presentasi ini membuat saya kembali cerah. Itu menunjukkan bahwa kalau cara pandangnya jernih, kesimpulannya akan bertemu,” ujarnya.
Asfinawati menilai aparat kepolisian kini lebih berfungsi sebagai alat kekuasaan ketimbang alat negara yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat. Ia menyebut kecenderungan itu kian menguat seiring lahirnya KUHAP baru yang ia nilai
“lebih buruk dari KUHAP karya agung Orde Baru”.
Dalam praktiknya, kata dia, penegak hukum semakin mengedepankan tafsir kekuasaan, misalnya dalam frasa “diduga keras” pada perintah penahanan yang seharusnya mensyaratkan bukti kuat tetapi kerap diterapkan secara longgar.
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung:
- Alif Fauzi Nurwidiastomo (Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta)
- Daniel Winarta (Pengacara Publik LBH Jakarta)
Unduh dokumen lengkap Penelitian “Praperadilan dalam Cengkeraman Kekuasaan: Menguji Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana”: https://bantuanhukum.or.id/praperadilan-dalam-cengkeraman-kekuasaan/
Dokumentasi kegiatan:
https://drive.google.com/drive/folders/1hrIYOTak1CXfugRv764UKMvnkrgYxHwk?usp=sharing






