Jakarta, 18 Maret 2021, LBH Jakarta mengecam keras terjadinya penggusuran paksa, tindakan sewenang-wenang di luar perintah pengadilan yang dilakukan oleh PT. Pertamina terhadap warga dengan melibatkan kelompok preman dan organisasi masyarakat. Selain itu, LBH Jakarta juga mengkritik minimnya (atau bahkan tidak adanya) upaya Pemerintah cq. Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk mencegah terjadinya penggusuran paksa secara melawan hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh PT. Pertamina terhadap warga dalam kasus ini dan Kepolisian Republik Indonesia yang diduga melakukan tindakan pembiaran atas serangkaian tindakan penggusuran paksa disertai kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok preman dan organisasi masyarakat (ormas) yang ditengarai suruhan PT. Pertamina terhadap warga Gang Buntu 2, Jalan Pancoran Buntu Jakarta Selatan.
Warga mengalami kekerasan saat sedang berjuang mempertahankan hak atas tempat tinggal mereka satu-satunya. Peristiwa kekerasan yang terjadi pada malam hari, Rabu 17 Maret 2021 tersebut setidaknya telah menyebabkan 23 orang warga Pancoran dan mahasiswa yang bersolidaritas mengalami luka-luka berupa luka karena lemparan batu, memar, sesak nafas karena gas air mata, luka robek, luka robek di bagian kepala, dan keseleo. Sebanyak 2000 lebih warga menjadi pihak yang terdampak langsung dan terancam kehilangan tempat tinggal. Terlanggar hak asasinya atas tempat tinggal yang layak akibat peristiwa ini.
Diketahui pada saat kekerasan tersebut berlangsung terdapat beberapa anggota Kepolisian yang bertugas namun diduga justru membiarkan tindak kekerasan tersebut terjadi. Dalam kerangka hukum dan HAM aparat kepolisian telah pelanggaran karena tidak melakukan penindakan sebagaimana tanggung jawab hukumnya (by omission). Ditambah, polisi diduga justru menembakkan gas air mata mengarah ke kumpulan warga yang sedang bertahan memperjuangkan haknya. Hal ini sangat ironis jika kita merujuk pada Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 telah secara jelas, menjelaskan fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan melakukan perlindungan, pengayoman dan melayani masyarakat serta melakukan penegakan hukum.
Tindakan Penggusuran Paksa sewenang-wenang tanpa perintah pengadilan dan adanya pembiaran tindak kekerasan oleh aparat kepolisian tersebut tidak hanya telah mencoreng wibawa negara hukum kita namun juga telah melukai rasa keadilan masyarakat, khususnya korban penggusuran paksa. Oleh karena itu, hal ini menjadi indikator bahwa negara melalui aparaturnya tidak menunjukan komitmen yang sungguh-sungguh atas penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia.
LBH Jakarta sangat menyesalkan tindakan “main hakim sendiri” yang dilakukan PT. Pertamina tersebut, terlebih lagi dari pengaduan masyarakat kepada LBH Jakarta dan berbagai pemberitaan media, diketahui bahwa kasus ini masih dalam proses sengketa. Seharusnya peristiwa kekerasan tersebut tidak perlu terjadi, apabila PT. Pertamina (Persero) dapat menghormati proses peradilan terkait sengketa kepemilikan lahan yang ada hingga ada penetapan eksekusi terhadap putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang saat ini proses masih berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan tidak menggunakan cara-cara brutal diluar kewenangan hukum dengan mengerahkan sekelompok orang yang diduga preman dan organisasi masyarakat tersebut. Apabila merujuk pada Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan batasan tegas bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan, bukan oleh preman atau pihak swasta manapun.
Warga Pancoran yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas sejatinya sedang mempertahankan hak atas tempat tinggalnya, yang mana pemenuhan hak atas tinggal sesungguhnya menjadi kewajiban Pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945, Pasal 11 Konvenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi dalam UU No. 11 Tahun 2005, Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak, serta Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman yang menjamin, “Penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.”
Proses penggusuran paksa dengan disertai kekerasan dan intimidasi ini jelas telah mengabaikan musyawarah yang tulus, pencarian solusi dan berbagai ketentuan terkait syarat-syarat perlindungan bagi warga terdampak pembangunan yang diatur dalam Komentar Umum Nomor 7 tentang Hak Atas Perumahan yang Layak (Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya) (General Comment No. 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant). Selain itu, resolusi Komisi HAM PBB Nomor 77 Tahun 1993 (Commission on Human Rights Resolution 1993/77), telah menegaskan bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat. Terlebih kasus ini masih dalam proses sengketa.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas dapat diketahui peristiwa seperti ini telah menambah daftar panjang kasus penggusuran secara sewenang-wenang yang terus terjadi ditiap tahunnya, sehingga LBH Jakarta menyatakan dan mendesak :
- Mengecam keras tindakan penggusuran paksa sewenang-wenang yang melanggar hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan PT. Pertamina (Persero) dengan melibatkan preman dan kelompok organisasi masyarakat;
- Menuntut Presiden cq. Kementerian BUMN, PT. Pertamina , DPRD DKI Jakarta , Gubernur Provinsi DKI Jakarta cq Walikota Jakarta Selatan untuk menghentikan penggusuran paksa sewenang-wenang yang jelas-jelas melanggar hukum dan hak asasi manusia serta segera memberikan solusi terhadap permasalahan ini dengan menjamin perlindungan dan pemenuhan (to protect and to fullfill) hak atas tempat tinggal bagi warga korban penggusuran paksa di Pancoran;
- Mendesak Kepolisian Republik Indonesia (MABES POLRI Cq. POLDA METRO JAYA cq. POLRES JAKARTA SELATAN cq.POLSEK PANCORAN) untuk melakukan penegakan hukum dengan mengusut tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh preman maupun organisasi masyarakat yang mana patut diduga kuat merupakan bagian dari PT. Pertamina dan memastikan perlindungan, pengayoman kepada warga terdampak penggusuran paksa PT. Pertamina serta melakukan evaluasi dan penindakan terhadap aparat kepolisian dalam kasus ini yang melakukan pembiaran terhadap dugaan tindak pidana yang terjadi.
- Mendesak Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman RI dan Lembaga terkait untuk segera turun tangan mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus ini serta mengusut tuntas pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia yang terjadi, mulai dari peristiwa penggusuran paksa sewenang-wenang hingga berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap warga;
Jakarta, 19 Maret 2021
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta