Jakarta, bantuanhukum.or.id – Minggu(7/6), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama dengan komunitas warga yang tergabung dalam jejaring Advokasi Tolak Penggusuran Paksa (Atap Rakyat) mengadakan diskusi yang bertemakan penggusuran di gedung LBH Jakarta. Diskusi ini digelar untuk menambah pemahaman masyarakat, khususnya para korban terdampak yang terkena penggusuran.
Bertindak sebagai pembicara dalam diskusi kali ini adalah Prof. Dr. Ing Jo Santoso, Ignatius Sandyawan Sumardi, dan Aartje Tehupeiory. Prof. Jo Santoso sebagai pembicara pertama memaparkan bahwa masalah kelangkaan lahan kota bukan hanya masalah Jakarta, dan sama sekali bukan hanya di Indonesia, namun permasalahan tersebut terjadi di seluruh dunia. Bukan hanya itu, kelangkaan ini juga menyebabkan kenaikan harga tanah yang pada akhirnya masyarakat semakin kesulitan untuk mendapatkan tanah untuk kemudian dijadikan tempat tinggal.
“Mari kita lihat, dulu di Jakarta Barat dari tahun 1986, tahun 2000, dan tahun 2015. Pada tahun 1986, rumah rata-rata di daerah tersebut bisa dibeli oleh 100 kali gaji fresh graduate (sekitar 4 juta rupiah per bulan). Sedangkan pada tahun 2015, rumah rata-rata bisa dibeli dengan 700 kali gaji fresh graduate,” jelasnya menunjukan bagan yang memperbandingkan harga tanah dan harga rumah.
“Dan keadaan diprediksikan akan semakin memburuk 20 tahun ke depan,” tambahnya.
Permasalahan perumahan juga berakar dari ketiadaan peraturan yang memberikan tanggung jawab kepada instansi manapun untuk menjamin bahwa semua masyarakat berhak atas tempat tinggal. Kaidah dalam konstitusi kita tidak diejawantahkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Aartje Tehupeiory sebagai pembicara kedua menekankan pentingnya fungsi sosial tanah dalam hukum tanah Indonesia. Ia mengungkapkan negara memang memiliki hak publik dalam mengelola tanah, namun masyarakat juga memiliki hak penguasaan tanah. Sehingga menurutnya, ketika negara ingin membangun dan melakukan perampasan tanah, maka perampasan tanah tersebut tidak boleh membuat kehidupan masyarakat lebih mundur dari sebelumnya.
“Yang paling penting adalah harus adanya musyawarah yang efektif, mediasi, dan ganti rugi,” katanya
Menutup diskusi ini, Ignatius Sandyawan Sumardi menyampaikan betapa pentingnya perjuangan bersama untuk melawan penggusuran paksa.Menurutnya penyakit yang kerap menjangkiti masyarakat memperjuangkan hak-haknya ketika mengalami penggusuran paksa adalah konsistensi dalam berjuang.
“Menurut saya yang paling susah dari perjuangan melawan penggusuran adalah menjaga kekompakan agar tidak ada oknum yang mengadu domba
Diskusi yang dihadiri lebih dari seratus orang dari perwakilan komunitas-komunitas yang terkena penggusuran se-Jabodetabek ini berakhir tepat pukul 18.00. (Dema)