Siaran Pers
Rabu (17/03) LBH Jakarta bersama Kantor Staf Presiden melaksanakan audiensi daring pada pukul 10.00 hingga 12.00 WIB. Audiensi ini disambut langsung oleh Jaleswari Pramodhawardani selaku Kepala Deputi V Kantor Staf Presiden, beliau menyambut perwakilan buruh dari berbagai federasi dan konfederasi, LBH Jakarta, serta LBH Kantor lainnya. Audiensi ini ditujukan kepada Kantor Staf Presiden didasari atas tugas penyelenggaraan pemberian dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis, sesuai Pasal 2 Perpres No. 83 Tahun 2019. Dalam hal ini, isu Pidana Ketenagakerjaan termasuk dalam 7 Agenda Pembangunan/Program Prioritas Nasional Tahun 2021 yang salah satunya memperkuat penegakan hukum nasional.
Citra Referandum, S.H., M.H. selaku Pengacara Publik LBH Jakarta menyampaikan beberapa temuan dalam penanganan perkara pidana perburuhan di Kepolisian, antara lain:
- Tidak ada Subdit Khusus Ketenagakerjaan di Kepolisian. Sehingga perkara pidana perburuhan masih ditangani oleh Subdit yang bersifat campuran yakni Subdit Sumdaling atau Tipidter;
- Desk Tenaga Kerja hanya menjadi ruang konseling/konsultasi hukum. Seringkali laporan buruh ditolak saat konsultasi berdasar alasan subyektif aparat, dan desk ini juga membebankan pencarian alat bukti kepada pelapor yang jelas menyalahi KUHAP;
- Desk Tenaga Kerja lahir tanpa dasar hukum. Sementara desk ini mengubah proses pelaporan dengan mewajibkan buruh melewati proses konsultasi terlebih dahulu di Desk Tenaga Kerja sebelum laporan diterima;
- Jumlah penyidik di kepolisian tidak sebanding dengan jumlah perkara yang ditangani;
- Minimnya pengawasan Kepolisian untuk memastikan kerja professional dengan menjunjung hukum dan HAM. Terlebih, kewenangan lembaga pengawas kepolisian seperti Kompolnas masih terbatas dan tidak memiliki kewenangan penindakan yang tegas;
- Sifat melawan hukum dalam pidana ketenagakerjaan masih gamang. Praktiknya menimbulkan tafsir yang beragam;
- Tidak ada hukum formil khusus pidana perburuhan. Masalahnya, tidak ada jangka waktu yang jelas dalam proses pemeriksaan perkaranya dan tidak ada juga ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme pembuktian;
- Kapasitas dan kompetensi aparat dalam menangani perkara pidana perburuhan masih rendah. Misal, tindakan aparat yang menjadikan Desk Tenaga Kerja sebagai mediator dalam penyelesaian kasus pidana perburuhan;
- Pelanggaran disiplin dan etik aparat penegak hukum masih menjadi hambatan. Misal, lambannya penanganan perkara;
- Adanya ancaman serangan balik dari pengusaha kepada buruh yang melapor. Yang terjadi, buruh di-PHK dan di-blacklist oleh asosiasi pengusaha setempat sehingga sulit mencari kerja lagi. Lalu adanya lapor balik oleh pengusaha untuk mengkriminalisasi buruh;
- Kajian akademis dan ahli pidana perburuhan sangat sedikit oleh karena rendahnya jumlah perkara pidana yang berhasil diperiksa hingga putusan.
Selanjutnya, Khamid Istakhori selaku Ketua Departemen Pendidikan dan Penelitian SERBUK Indonesia (Federasi Serikat Buruh Kerakyatan Indonesia) menyampaikan 6 poin rekomendasi:
- Membentuk peraturan turunan di internal Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung sebagai pelengkap ketentuan hukum pidana materiil ketenagakerjaan. Hal ini untuk mengantisipasi kekosongan maupun celah multitafsir norma pidana perburuhan;
- Kepolisian agar membentuk peraturan pelaksana mengenai tata cara penyidikan khusus perkara pidana ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan KUHAP;
- Pemerintah dan Kepolisian segera menerbitkan dasar hukum pembentukan Sub Direktorat Khusus Pidana Ketenagakerjaan dibawah fungsi reserse kriminal khusus dengan mengatur susunan, nomenklatur dan organisasi tata kerjanya. Sehingga Subdit tersebut dapat dibentuk mulai tingkat Mabes Polri hingga unit khusus di tingkat Polres;
- Memperbanyak jumlah personil penyelidik dan penyidik yang memiliki spesialisasi menangani perkara pidana ketenagakerjaan di Subdit Khusus;
- Pemerintah dan DPR agar memperbaiki dan memperkuat kewenangan lembaga pengawas kepolisian baik internal maupun eksternal; dan
- Pemerintah dan universitas agar menerbitkan kebijakan dan mengalokasikan anggaran untuk riset hukum pidana perburuhan.
Sepanjang audiensi berlangsung, perwakilan buruh dari berbagai federasi dan konfederasi turut menyampaikan pandangannya terkait urgensi pembentukan Subdit Pidana Khusus Ketenagakerjaan di Kepolisian sampai pada tingkatan Kabupaten/Kota, karena menurut Khamid “konsentrasi pelanggaran terkait pidana perburuhan berada pada tingkat Kabupaten/Kota”. Kemudian, Nelson Saragih, Ketua Hukum dan Advokasi KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia) mengatakan “tujuan dari adanya penegakan pidana khusus ketenagakerjaan adalah guna menciptakan iklim industri yang berkeadilan, jadi tidak hanya mellindungi pekerja tetapi juga pengusaha”. Citra juga menyampaikan “sebenarnya permohonan audiensi kepada Mabes Polri sebagai aktor penting yang disasar dalam advokasi pembentukan Subdit Pidana Khusus Ketenagakerjaan sudah disampaikan, namun belum kunjung mendapat balasan” dan “Kantor Staf Presiden diharapkan dapat membentuk tim khusus dan gugus tugas lintas kementerian dan/atau lembaga terkait untuk penanganan masalah tertentu dalam hal ini pidana khusus ketenagakerjaan, kewenangan tersebut tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Perpres No. 83 Tahun 2019” tutup Citra.
Dalam tanggapannya, Kantor Staf Presiden melalui Mufti Makarim (Tenaga Ahli Madya Deputi V Kantor Staf Presiden) menyatakan: “Pertama, sesuai arahan Deputi V terkait langkah terdekat, kami akan mendalami hasil penelitian yang telah dipaparkan; Kedua, terkait hambatan yang dihadapi dalam berkomunikasi dengan Mabes Polri, kami akan coba follow up lebih lanjut, untuk mendiskusikan wacana ini dengan pihak Mabes Polri, dimulai pada level As Ops (Asisten Kapolri Bidang Operasi) yang memiliki kewenangan pengendalian internal Polri.”