Jumat (09/07) LBH Jakarta bersama Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri melaksanakan audiensi daring pada pukul 14.00 s/d 16.00 WIB. Audiensi disambut langsung oleh Kombes Pol Dr. Teddy John Sahala Marbun, S.H. M.Hum. selaku Kepala Subdirektorat II, Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Ditipidter) Bareskrim Polri. Audiensi juga dihadiri oleh perwakilan beberapa LBH Kantor dan Serikat Pekerja/Buruh. Audiensi ini ditujukan kepada Kabareskrim Polri didasari tugasnya untuk membantu Kapolri dalam membina dan menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, pengawasan dan pengendalian penyidikan, penyelenggaraan identifikasi, laboratorium forensik dalam rangka penegakan hukum serta pengelolaan informasi kriminal nasional. sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia
Fadhil Alfathan Nazwar selaku Asisten Pengabdi Bantuan Hukum (APBH) yang mewakili Sub Bidang Riset LBH Jakarta memaparkan beberapa temuan dalam penanganan perkara pidana perburuhan di Kepolisian, antara lain:
- Jumlah penyidik di kepolisian tidak sebanding dengan jumlah perkara yang ditangani;
- Desk Tenaga Kerja hanya menjadi ruang konseling/konsultasi hukum. Seringkali laporan buruh ditolak saat konsultasi berdasar alasan subyektif aparat, dan desk ini juga membebankan pencarian alat bukti kepada pelapor yang jelas menyalahi KUHAP;
- Desk Tenaga Kerja lahir tanpa dasar hukum. Sementara desk ini mengubah proses pelaporan dengan mewajibkan buruh melewati proses konsultasi terlebih dahulu di Desk Tenaga Kerja sebelum laporan diterima;
- Tidak ada Subdit Khusus Ketenagakerjaan di Kepolisian. Sehingga perkara pidana perburuhan masih ditangani oleh Subdit yang bersifat campuran yakni Subdit Sumdaling atau Tipidter;
- Minimnya pengawasan Kepolisian untuk memastikan kerja profesional dengan menjunjung tinggi hukum dan HAM. Terlebih, kewenangan lembaga pengawas kepolisian seperti Kompolnas masih terbatas dan tidak memiliki kewenangan penindakan yang tegas;
- Sifat melawan hukum dalam pidana ketenagakerjaan masih gamang. Praktiknya menimbulkan tafsir yang beragam;
- Tidak ada hukum formil khusus pidana perburuhan. Masalahnya, tidak ada jangka waktu yang jelas dalam proses pemeriksaan perkaranya dan tidak ada juga ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme pembuktian;
- Kapasitas dan kompetensi aparat dalam menangani perkara pidana perburuhan masih rendah. Misal, tindakan aparat yang menjadikan Desk Tenaga Kerja sebagai mediator dalam penyelesaian kasus pidana perburuhan;
- Pelanggaran disiplin dan etik aparat penegak hukum masih menjadi hambatan. Misal, lambannya penanganan perkara;
- Adanya ancaman serangan balik dari pengusaha kepada buruh yang melapor. Yang terjadi, buruh di-PHK dan di-blacklist oleh asosiasi pengusaha setempat sehingga sulit mencari kerja lagi. Lalu adanya lapor balik oleh pengusaha untuk mengkriminalisasi buruh;
- Kajian akademis dan ahli pidana perburuhan sangat sedikit oleh karena rendahnya jumlah perkara pidana yang berhasil diperiksa hingga putusan.
Selanjutnya, Khamid Istakhori dari Federasi Serikat Buruh Kerakyatan Indonesia (SERBUK) juga menyampaikan 8 butir rekomendasi:
- Pemerintah dan Kepolisian segera menerbitkan dasar hukum pembentukan Sub Direktorat khusus Pidana Ketenagakerjaan dibawah fungsi reserse kriminal khusus dengan mengatur susunan, nomenklatur dan organisasi tata kerjanya. Sehingga Subdit tersebut dapat dibentuk mulai tingkat Mabes Polri hingga unit khusus di tingkat Polres;
- Kepolisian RI membentuk Sub Direktorat Khusus Pidana Ketenagakerjaan di bawah fungsi reserse kriminal khusus;
- Memperbanyak jumlah personil penyelidik dan penyidik yang memiliki spesialisasi menangani perkara pidana ketenagakerjaan di Subdit Khusus;
- Kepolisian agar membentuk peraturan pelaksana mengenai tata cara penyidikan khusus perkara pidana ketenagakerjaan. Tentunya tidak bertentangan dengan KUHAP;
- Membentuk peraturan turunan di internal Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung sebagai pelengkap ketentuan hukum pidana materiil ketenagakerjaan. Hal itu untuk mengantisipasi kekosongan maupun celah multitafsir norma pidana perburuhan;
- Pemerintah dan DPR agar memperbaiki dan memperkuat kewenangan lembaga pengawas kepolisian baik internal maupun eksternal;
- Pemerintah dan universitas agar menerbitkan kebijakan dan mengalokasikan anggaran untuk riset hukum pidana perburuhan;
- Kepolisian RI memperbaiki kinerja dengan menjunjung tinggi disiplin dan kode etik serta nilai-nilai HAM.
Saat diskusi, perwakilan buruh dari berbagai serikat turut menyampaikan pendapatnya, salah satunya Nelson Saragih, Ketua Hukum dan Advokasi KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia) mengatakan “Ada Salah Kaprah yang selama ini terjadi dalam penanganan kasus pidana perburuhan di Kepolisian, yakni tentang asas Ultimum Remedium. Ultimum Remedium seharusnya tetap diletakan pada tujuan pemidanaan agar perbuatan yang diancam pidana tidak terulang. Dalam praktiknya Penyidik justru memediasi Buruh dengan Pengusaha sehingga penanganan kasusnya menjadi terhambat, di sisi lain Buruh mendapat ‘serangan balik’ dari Pengusaha berupa mutasi sampai dengan pemecatan akibat pelaporan tindak pidana perburuhan yang dilakukannya”.
Kemudian di akhir audiensi, Kombes Pol Dr. Teddy John Sahala Marbun, S.H. M.Hum. menyampaikan “Kami mohon untuk diberikan hasil penelitian dan data lengkap yang menunjukkan urgensi pembentukkan Sub Direktorat Khusus Pidana Ketenagakerjaan ini serta catatan hasil audiensi advokasi kebijakan ini dengan lembaga negara lainnya untuk jadi bahan pertimbangan pimpinan dalam hal ini Kabareskrim dan Kapolri.”