LBH Jakarta mengkritik Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 yang diterbitkan pada 4 Agustus 2020. Inpres ini berisi perintah kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Dalam Negeri; Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana; Panglima TNI; para kepala daerah; Kepala Kepolisian RI; dan Para Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam merespon pandemi yang secara umum hanya mengulang narasi lama imbauan-imbauan yang sifatnya tidak mencegah secara efektif peningkatan penularan wabah pandemi COVID-19.
Naasnya Inpres ini juga tidak meneruskan substansi mandat penanganan pandemi sebagaimana aturan hukum yang sudah tersedia untuk penanggulangan wabah penyakit seperti halnya COVID-19 (UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, PP PSBB dll). Di dalam Inpres nampak tidak ada instruksi mengenai penerapan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau bahkan memperluasnya dengan menerbitkan aturan pelaksana Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Karantina Wilayah.
Di sisi lain, ketiadaan kebijakan kekarantinaan kesehatan dalam Inpres ini justru ‘ditambal’ dengan instruksi aparat Kepolisian untuk melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang melanggar protokol kesehatan pencegahan COVID-19. Instruksi yang menggunakan pendekatan represif alat keamanan seperti ini sangat tidak efektif mencegah potensi penularan wabah pandemi COVID-19, karena implementasi di lapangannya hanya bersifat penindakan yang kasuistik semata, sedangkan potensi penularan wabah pandemi COVID-19 sangat tergantung pada pola mobilitas warga dan aktivitas kesehariannya.
‘Pendekatan represif’ ini juga terlihat dari pelibatan TNI dalam penanganan pandemi. TNI yang notabenenya adalah alat pertahanan negara dan disiapkan untuk berperang, dilibatkan untuk menangani pandemi yang notabenenya adalah wilayah profesional ahli-praktisi kesehatan masyarakat. Secara terang pemerintah lebih memilih pola pendisiplinan-represif dibanding menggunakan kebijakan berbasis saintifik ilmu kesehatan masyarakat dan memenuhi hak-hak warga terkait darurat kesehatan sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Bila pun pelibatan TNI dalam penanganan pandemi hendak dinyatakan sebagai OMSP (Operasi Militer Selain Perang), merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa OMSP ini harus dinyatakan lewat Keputusan Politik Negara. Sedangkan sampai hari ini belum ada Keputusan Presiden yang menetapkan pelibatan TNI dalam wabah pandemi COVID-19 sebagai suatu OMSP.
Pelibatan TNI dan pengerahan aparat keamanan Kepolisian dalam penanganan pandemi COVID-19 ini menunjukan inkonsistensi dan inkompetensi pemerintah dalam menangani pandemi. Alih-alih menggunakan pendekatan represif-keamanan, penanganan wabah pandemi COVID-19 semestinya berbasis rekomendasi saintifik yang melibatkan ahli dan praktisi ilmu kesehatan masyarakat.
Temuan beberapa peneliti, akademisi, dan ahli kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa peningkatan penularan wabah pandemi COVID-19 di Indonesia yang pada hari ini sudah mencapai 118.753 disebabkan ketiadaan pembatasan yang jelas terhadap mobilitas dan aktivitas warga. Di satu sisi, pembatasan tersebut hanya bisa dilakukan sejauh ada kebijakan yang konsisten yang diterapkan oleh Pemerintah baik itu dengan PSBB atau mekanisme yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan seperti Karantina rumah, rumah sakit, atau karantina wilayah.
Untuk itu LBH Jakarta mendesak agar:
- Pemerintah Indonesia melakukan evaluasi kebijakan terkait penanganan wabah pandemi COVID-19 menggunakan pendekatan kesehatan yang bersifat saintifik ilmu kesehatan masyarakat dalam merespon wabah pandemi COVID-19 dan konsisten dalam melakukan penanganan sehingga tidak menimbulkan kebingungan di kalangan warga;
- Pemerintah Indonesia menjalankan tugas dan tanggung jawab, serta memenuhi hak-hak warga negara sebagaimana diamanatkan Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular;
- Pemerintah Indonesia segera melengkapi paket kebijakan aturan pelaksana kekarantinaan kesehatan sebagaimana mandat UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang mencakup aturan pelaksana Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Karantina Wilayah sebagai alternatif kebijakan kekarantinaan kesehatan selain PSBB untuk mencegah semakin meluasnya dampak COVID-19 dan tidak menimbulkan kebingungan di kalangan warga;
- Pemerintah membatalkan pelibatan TNI-Polri dalam kebijakan penanganan wabah pandemi COVID-19 yang cenderung bersifat represif-keamanan dan menggantinya dengan kebijakan kekarantinaan kesehatan yang berbasis peraturan perundang-undangan serta riset evaluasi dan rekomendasi ahli kebijakan kesehatan masyarakat.
Jakarta, 7 Agustus 2020
Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA