“Penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan Penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan pekerjaan dan akses keadilan”
– Penjelasan UU No. 8 Tahun 2016
Pada awal tahun 2022 ini, LBH Jakarta mendampingi DH (37 tahun), seorang penyandang disabilitas mental sekaligus pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengajukan gugatan terhadap Kementerian Keuangan dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan tersebut dilayangkan sebab sebelumnya BPASN dan Menteri Keuangan menolak banding administratif yang diajukan DH atas keputusan pemberhentiannya hanya karena lewat waktu 14 hari. Padahal, dalam proses banding tersebut, DH telah menjelaskan kondisi skizofrenia paranoid yang tidak tertangani yang dialaminya menyebabkan ia tidak dapat membela diri ketika dijatuhi hukuman dan tidak dapat mengajukan banding pada waktu yang ditentukan. LBH Jakarta berpandangan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas mental.
DH telah bekerja selama 10 tahun sebagai ASN pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI. Ia termasuk ASN berprestasi dimana pada 2014 ia menerima beasiswa dari program Australia Award Scholarship untuk melanjutkan studi masternya di University of Melbourne. Pada 12 November 2020, ia dijatuhi hukuman pemberhentian dengan hormat tidak atas keinginan sendiri dengan alasan tidak masuk kerja dan tidak menaati ketentuan jam kerja tanpa alasan yang sah secara kumulatif selama lebih dari 46 hari kerja selama Januari hingga September 2020. Problemnya, pada waktu yang dirujuk tersebut, gangguan psikotik yang dideritanya sejak 2014 sedang tidak tertangani. Hal tersebut menyebabkan ia tidak mengisi absensi dan tidak dapat masuk kerja. Ia pun tidak dapat menghadiri panggilan pada proses penjatuhan sanksi tersebut. Atas hukuman tersebut, DH juga dituntut mengganti kerugian negara ratusan juta rupiah karena dianggap melanggar ikatan dinas dan merugikan negara karena sebelumnya mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia.
Situasi DH baru berangsur membaik pada September 2021 setelah pihak keluarga membantunya melakukan terapi dan pengobatan bersama psikiater. Mengetahui hukuman yang diterimanya, Ia pun langsung menjelaskan kondisinya kepada Kementerian Keuangan RI. Ia mengajukan banding administratif kepada BPASN ditembuskan kepada Kementerian Keuangan RI yang pada pokoknya menjelaskan kondisi disabilitas yang dialaminya sekaligus meminta perubahan status dirinya dari diberhentikan dengan hormat menjadi PNS dengan disabilitas gangguan mental. BPASN dan Kementerian Keuangan RI menolak permohonan tersebut dengan alasan yang sama yaitu telah lewatnya waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan. Atas penolakan tersebut, sesuai ketentuan hukum, DH mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada 15 November 2021.
LBH Jakarta yang bertindak sebagai kuasa hukum DH beranggapan bahwa keputusan BPASN dan Kementerian Keuangan RI yang menolak banding yang diajukan bersifat diskriminatif terhadap DH selaku penderita skizofrenia. Berdasarkan Pasal 4 huruf c UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, skizofrenia adalah salah satu bentuk disabilitas mental dimana penderitanya berhak mendapatkan perlakuan khusus berupa kesamaan kesempatan mengakses proses hukum serta mendapatkan kesempatan kembali bekerja. “Keputusan tersebut adalah preseden buruk bagi komitmen negara menjamin hak disabilitas. Ini dapat menjadi ancaman khususnya bagi ASN penyandang disabilitas mental yang tidak tertangani karena tidak diberikannya kesamaan kesempatan dalam mengakses proses hukum dan mendapatkan haknya untuk kembali bekerja yang dijamin dalam UU Penyandang Disabilitas dan Konvensi yang telah diratifikasi Indonesia”, ujar Charlie Albajili, Pengacara Publik LBH Jakarta.
Tidak hanya itu, LBH Jakarta juga menilai terhadap pelanggaran hukum dari aspek kewenangan, prosedur hingga substansi pada keputusan yang diterbitkan BPASN dan Kementerian Keuangan RI. Dalam gugatan yang diajukan, DH menuntut hakim PT TUN Jakarta untuk membatalkan keputusan pemberhentiannya dan memerintahkan para Tergugat untuk merehabilitasi hak dan kedudukannya sebagai ASN penyandang disabilitas. “Telah ada konsensus di Mahkamah Agung yang dituangkan dalam SEMA No 1 Tahun 2017 bahwa hakim dapat mengesampingkan aspek hukum formal demi keadilan substantif. Inilah saatnya hakim TUN menegakan prinsip tersebut sekaligus meneguhkan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan kesamaan kesempatan,” pungkas Charlie.
Agenda pembacaan gugatan telah dilaksanakan pada Rabu, 12 Januari 2022. Persidangan berlanjut pada Selasa, 25 Januari 2022 lalu dengan agenda pembacaan Jawaban dari BPASN dan Kementerian Keuangan RI selaku para Tergugat. Sayangnya agenda jawaban tersebut kembali ditunda dua minggu hingga 8 Februari 2022 karena para Tergugat belum siap atas jawabannya masing-masing. Di muka persidangan, LBH Jakarta menyampaikan dengan keras keberatan atas keputusan penundaan tersebut karena pemberian kesempatan yang tidak berimbang bagi para pihak. Pasalnya untuk memberikan jawaban saja, pihak Tergugat diberikan waktu hingga satu bulan, hal yang jarang sekali terjadi. LBH Jakarta mengajak seluruh elemen masyarakat untuk dapat memantau persidangan dan mendukung gugatan yang diajukan DH sebagai upaya peneguhan hak-hak penyandang disabilitas mental.