Jakarta, 05 November 2025
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menghadapi tantangan serius terhadap kualitas demokrasi dan kebebasan sipil. Ruang sipil yang mencakup hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyuarakan pendapat mengalami penyusutan yang sistematis, baik melalui regulasi yang represif maupun praktik intimidatif terhadap masyarakat sipil.
Melalui Indonesia Civil Society Forum 2025, LBH Jakarta merespon kondisi tersebut lewat diskusi dengan tajuk “Melindungi Ruang bagi Masyarakat Sipil di Tengah Legalisme Otokratik. Forum ini menjadi wadah bagi berbagai organisasi masyarakat sipil untuk bersama-sama mengidentifikasi ancaman terhadap ruang sipil, mengenali pola serangan yang terjadi, serta merumuskan strategi jaringan perlindungan kolektif lintas jaringan.
Diskusi dibuka oleh Direktur LBH Jakarta, Muhammad Fadhil Alfathan memaparkan bagaimana kebijakan dan rencana kebijakan negara semakin mempersempit ruang gerak masyarakat sipil. Dalam paparannya, Fadhil juga menyoroti peran Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAuD) sebagai bentuk respons dan inisiatif jaringan perlindungan kolektif terhadap berbagai upaya pembatasan kebebasan sipil di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Sesi dilanjutkan dengan pemantik diskusi dari Belly Stanio, Pengacara Publik LBH Jakarta, yang mewakili pemaparan dari Protection International (PI). Belly membahas pentingnya perlindungan kolektif bagi pembela HAM serta kembali mencontohkan TAuD sebagai bentuk konkret dari upaya membangun jaringan perlindungan kolektif. Dijelaskan bahwa struktur, informasi dan solidaritas merupakan elemen fundamental dalam pembentukan jaringan perlindungan kolektif.
Kegiatan ini diikuti oleh 43 peserta dari berbagai lembaga masyarakat sipil. Forum kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok yang dibagi ke dalam dua klaster isu. Klaster pertama membahas isu Hukum dan HAM, Sipil dan Politik, serta Demokrasi, sedangkan klaster kedua mencakup isu Sumber Daya Alam/Lingkungan/Agraria, Keadilan Iklim, dan Masyarakat Adat. Dalam kelompok-kelompok ini, para peserta berbagi pengalaman mengenai ancaman dan kekerasan yang pernah mereka alami, baik secara individu maupun kelembagaan. Setiap kelompok kemudian mengkonstruksi contoh kasus untuk dianalisis bersama, guna menemukan pola dan bentuk serangan terhadap gerakan masyarakat sipil.
Serangan Terhadap Gerakan Sipil dan Pentingnya Solidaritas Lintas Jaringan
Hasil diskusi menunjukkan pola yang relatif seragam. Gerakan masyarakat sipil menghadapi serangan dalam bentuk fisik, psikis, dan digital, terutama saat mengadvokasi kebijakan publik atau ketika terjadi aksi massa. Pelaku serangan berasal dari dua kategori besar: state actor seperti aparat penegak hukum, badan intelijen, dan buzzer; serta non-state actor seperti organisasi masyarakat, intel swasta, investor, dan kelompok preman.
Dalam merespons berbagai bentuk serangan tersebut, para peserta forum menekankan pentingnya memperkuat sumber daya pendukung yang bersifat kolektif. Dukungan ini mencakup layanan bantuan hukum, pendampingan psikologis, pelatihan keamanan holistik, penyediaan rumah aman, akses pendanaan darurat, hingga kampanye publik dan kanal informasi rujukan. Seluruh elemen ini diharapkan dapat diintegrasikan dalam satu sistem jaringan perlindungan kolektif yang berfungsi sebagai mekanisme tanggap darurat dan sistem dukungan berkelanjutan bagi para pembela HAM.
Selain itu, forum juga menyoroti keberadaan Jaringan Perlindungan Kolektif Indonesia (JPLKI) yang telah melibatkan sejumlah organisasi masyarakat sipil dalam upaya menyediakan layanan keamanan integral. Meski demikian, layanan tersebut dinilai masih bersifat parsial dan perlu dioptimalkan melalui koordinasi dengan jaringan bantuan hukum, medis, psikososial, serta pendanaan darurat. Dalam diskusi, forum juga mendorong pembentukan local hub atau jaringan perlindungan di tingkat komunitas agar sistem keamanan kolektif dapat tumbuh dari akar rumput.
Rekomendasi lain yang muncul meliputi perlunya advokasi litigasi terhadap regulasi yang membatasi hak asasi manusia, utamanya terkait proses Revisi Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang saat ini sedang berlangsung, namun berjalan tanpa pelibatan yang bermakna dari elemen masyarakat sipil.
Forum ini menegaskan kembali bahwa perlindungan terhadap ruang sipil tidak dapat diserahkan hanya kepada satu lembaga atau sektor tertentu. Diperlukan konsolidasi lintas organisasi, penguatan solidaritas masyarakat, serta komitmen bersama untuk menjaga agar demokrasi dan ruang sipil tetap hidup di tengah menguatnya praktik legalisme otokratik di Indonesia.






