Empat pengamen yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan mengajukan peninjauan kembali. Sidang perdana peninjauan kembali berlangsung hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Sidang berlangsung 15 menit, untuk memastikan bahwa kami memang mengajukan peninjauan kembali,” kata kuasa hukum para terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Johanes Gea, kepadaTempo, Senin, 11 Mei 2015.
Sepekan sebelumnya sidang tertunda karena tiga terdakwa tak dapat menghadiri sidang. Tiga terdakwa yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang tak dapat dihadirkan di ruang sidang karena ketiadaan anggaran transportasi dari lembaga pemasyarakatan. “Hari ini mereka dapat hadir karena kami yang menjemput dan menyediakan transportasi,” kata Gea.
Empat terdakwa ini merupakan korban salah tangkap atas pembunuhan Dicky Maulana, 16 tahun. Peristiwa ini bermula saat empat bocah yakni AP, MF, BF, dan FP bersama kawan-kawannya menemukan Dicky dalam keadaan terluka parah di kolong jalan layang Cipulir, Jakarta Selatan, pada 30 Juni 2013.
Dicky meninggal ketika mereka hendak mencari bantuan pertolongan. Ketika peristiwa itu terjadi, keempat terdakwa masih berada di bawah umur. Selain mereka, ada dua pengamen dewasa yang menemukan Dicky yakni Nurdin Prianto, 24 tahun, dan Andro Supriyanto, 19 tahun. Belakangan Nurdin dan Andro ini juga ditetapkan sebagai terdakwa.
Kejutan muncul dalam persidangan kasus ini. Muncul pengakuan dari Iyan Pribadi, 19 tahun, sebagai pembunuh Dicky. Di persidangan Nurdin dan Andro, Iyan mengaku membunuh Dicky bersama dua temannya, Hairudin Hamza alias Brengos dan Jubaidi alias Jubai. Ketiga orang ini biasa mengamen di angkutan umum rute Ciledug-Blok M. Motifnya, kata Iyan, merampas sepeda motor matic yang malam itu dikendarai Dicky.
Pengakuan Iyan ini berhasil membebaskan Andro dan Nurdin di pengadilan tinggi pada Maret 2014. Namun, empat bocah pengamen hingga sekarang masih menjalani masa hukuman.
Keempat bocah terdakwa divonis hukuman penjara yang bervariasi selama 3-4 tahun di pengadilan negeri. Gea dan kawan-kawan berupaya membebaskan keempat bocah itu dengan mengajukan permohonan banding dan kasasi. Hasil akhirnya, pada 14 Februari 2014, majelis hakim kasasi yang dipimpin Artidjo Alkostar menyatakan kasasi para bocah tak dapat diterima alias niet ontvankelijke verklaard. (sumber tempo.co)