LBH Jakarta mendampingi warga korban penggusuran paksa di kawasan Papanggo, Jakarta Utara, dan Duri Kepa, Jakarta Barat, untuk mengajukan permohonan judicial review Undang-Undang PrP Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.
Warga Papanggo mengalami penggusuran paksa pada tahun 2008, sementara warga Duri Kepa mengalami penggusuran paksa pada tahun 2015. Keduanya digusur secara sepihak oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanpa ganti rugi apapun dan didampingi oleh LBH Jakarta untuk menuntut hak-hak mereka.
“Undang-Undang ini melanggar hak konstitusional korban penggusuran karena memberikan wewenang kepada pemerintah untuk bertindak diskriminatif terhadap warganya sendiri pada saat melakukan penggusuran, yaitu klaim sepihak tanpa perlu menunjukkan sertifikat dan proses musyawarah, penggunaan kekerasan, hingga penggunaan aparat yang tidak berwenang, seperti TNI,” ujar Alldo Fellix Januardy, Pengacara Publik LBH Jakarta.
LBH Jakarta mengajukan pembatalan terhadap Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang Prp Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya karena keseluruhan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Pasal-pasal di atas mengakibatkan hilangnya hak konstitusional warga negara yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh pemerintah. Hak tersebut, antara lain hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, hak atas perlindungan harta benda, hak atas pekerjaan yang layak, dan hak atas pendidikan dari anak-anak warga yang terpaksa putus sekolah akibat berlangsungnya penggusuran paksa di rumah mereka. Ini tentu sama sekali tidak manusiawi,” tambah Alldo Fellix Januardy.
“Ini adalah ketentuan perang yang sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Undang-Undang ini diterbitkan oleh pemerintah pada masa itu untuk kepentingan pertahanan dari maraknya pemberontakan pada masanya ketika negara menetapkan situasi keadaan bahaya,” pungkas Tigor Gempita Hutapea, Pengacara Publik LBH Jakarta.
“Kami harapkan Mahkamah Konstitusi dapat bersikap arif dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat miskin kota yang terlanggar hak konstitusionalnya oleh negara dengan membatalkan Undang-Undang ini. Masyarakat miskin kota juga harus diperlakukan secara manusiawi dan tidak dilanggar haknya oleh hukum,” tutup Tigor.
Selama pengajuan permohonan, sedikitnya 30 orang perwakilan warga korban penggusuran paksa juga menggelar aksi pembentangan spanduk dan orasi di depan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pada salah satu spanduk tertulis: Batalkan UU PrP Nomor 51 Tahun 1960, Perlakukan Korban Penggusuran dengan Manusiawi.
Kontak:
- Alldo Fellix Januardy (087878499399)
- Tigor Gempita Hutapea (081287296684)