Mantan buruh migran yang juga merupakan korban perdagangan manusia dengan inisial “R”, melalui kuasa hukumnya yaitu LBH Jakarta mendaftarkan diri sebagai pihak terkait langsung dalam judicial review UU Perlindungan Pekerja Migran di Mahkamah Konstitusi (02/03). Pemohon dalam perkara judicial review ini adalah Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (ASPATAKI) yang merupakan organisasi yang beranggotakan 142 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
Tim Hukum Jaringan Buruh Migran terdiri dari Sekretariat Jaringan Buruh Migran, Solidaritas Perempuan dan LBH Jakarta mewakili “R” menegaskan alasan pendaftaran “R” sebagai pihak terkait karena berpotensi akan menyebabkan kerugian konstitusional terhadap “R”.
“Klien kami merupakan korban perdagangan manusia yang masih berusaha mendapatkan keadilan melalui peradilan pidana di Indonesia atas tindakan-tindakan tipu muslihat oleh aktor-aktor yang tidak bertanggung jawab yang telah menyebabkan “R” menderita baik fisik dan psikis selama bekerja sebagai buruh migran,” ungkap Ayu Eza Tiara kuasa hukum “R” menjelaskan pendaftaran “R” sebagai pihak terkait.
Selanjutnya Tim Hukum Jaringan Buruh Migran menilai adanya permohonan judicial review yang diajukan ASPATAKI merupakan salah satu bentuk pelemahan terhadap usaha perlindungan buruh migran di Indonesia yang hingga kinipun belum maksimal pelaksanaannya. “R” bersama Tim Hukum Buruh Migran berharap agar Mahkamah Konstitusi menolak permohonan ASPATAKI untuk seluruhnya karena ketentuan yang diuji dalam UU PPMI tersebut bertujuan untuk melindungi buruh migran Indonesia beserta keluarganya dari berbagai ancaman pelanggaran hak asasi manusia.
Permohonan judicial review terhadap Pasal 54 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran (PPMI), telah diajukan oleh ASPATAKI sejak 27 Desember 2019. Adapun alasannya adalah ASPATAKI mengklaim “terhambatnya lalu lintas usaha bisnis” para pengusaha yang tergabung dalam ASPATAKI. (TT)