Siaran Pers
Komunitas korban penggusuran yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran Paksa bergabung menjadi Pihak Terkait di Mahkamah Konstitusi RI untuk membatalkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya karena bertentangan dengan UUD 1945.
UU tersebut memberikan wewenang yang besar bagi pemerintah atau pihak swasta untuk merampas lahan milik warga tanpa perlu membuktikan kepemilikan, juga tanpa memberikan kompensasi apapun. Akibatnya, penggusuran paksa yang melanggar hak dasar warga marak terjadi. Dalam berbagai kasus penggusuran paksa, selain kehilangan rumah, warga juga kehilangan mata pencaharian dan pendidikan anak-anak mereka terganggu akibat penggusuran kerap dilaksanakan tanpa memandang periode tahun pembelajaran.
Lebih lanjut, UU Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, dahulu diterbitkan dalam situasi Indonesia berada dalam keadaan bahaya (staat van oorlog beleg) sehingga tidak lagi relevan dengan situasi saat ini. UU yang sudah tidak lagi kontekstual dengan kondisi sekarang juga memicu terjadinya kekerasan dalam kasus-kasus penggusuran paksa yang melibatkan aparat tidak berwenang, seperti aparat TNI dan POLRI.
UU Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya juga masih menganut asas kolonial Domein Verklaring, yaitu setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap sebagai milik negara. Padahal, asas tersebut telah dihapus sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mewajibkan bahwa pemerintah juga harus mendaftarkan aset-asetnya berupa tanah untuk mendapatkan sertifikat.
UU Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya juga bertentangan dengan standar HAM yang dijamin berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial Budaya sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 yang mewajibkan bahwa relokasi warga terdampak harus menjadi jalan terakhir, musyawarah dan partisipasi warga harus dikedepankan, pemerintah memastikan kehidupan warga terdampak lebih baik setelah direlokasi, dan warga berhak untuk mendapatkan bantuan hukum untuk menuntut hak-haknya. Seluruh standar tersebut kerap dilanggar dalam berbagai kasus penggusuran.
Para korban penggusuran yang telah digusur dengan UU tersebut merasakan kehidupannya semakin sulit pasca penggusuran. Sama halnya dengan warga yang menghuni daerah yang berpotensi menjadi titik penggusuran, mereka sama sekali tidak mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan dari negara terkait dengan nasib mereka.
Pembatalan UU Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya dapat mendorong pemerintah untuk menggunakan pendekatan yang lebih manusiawi bagi masyarakat terdampak pembangunan.
Di dalam mengajukan permohonan Pihak Terkait di Mahkamah Konstitusi, komunitas korban penggusuran paksa diwakilkan tim kuasa hukum dari LBH Jakarta, Forum Warga Kota Jakarta, Ciliwung Merdeka, dan tim relawan advokat perorangan independen.
Kini keputusan ada di tangan Mahkamah Konstitusi apakah ingin mempertahankan rezim penggusuran paksa yang telah terbukti melanggar hak dasar rakyat atau melindungi HAM setiap warga negara dengan membatalkan UU tersebut.
Aliansi Masyarakat Menolak Penggusuran Paksa
(LBH Jakarta, Forum Warga Kota Jakarta, Lembaga Masyarakat Peduli Lingkungan Indonesia, Ciliwung Merdeka, Komunitas Kebun Sayur Ciracas, Serikat Tani Teluk Jambe (Korban Penggusuran Karawang), Tim Relawan Advokat Independen, Korban Penggusuran Tangerang, Korban Penggusuran Duri Kepa, Korban Penggusuran Papanggo, dan Korban Penggusuran Budi Darma)
Kontak:
1. Alldo Fellix Januardy, LBH Jakarta (087878499399)
2. Daniel Silvester Sinaga, FAKTA (0818742790)
3. Handika Febrian (085691733221)
4. Arie Muhammad Haikal, Tim Relawan Advokat Independen (085265337945)