Hukum di Indonesia tidak mampu melindungi kelompok minoritas yang menjadi korban persekusi dan intoleransi.
“Kita mempunyai Undang-undang Dasar yang menjamin kebebasan beragama, tetapi belum ada Undang-undang turunannya yang menjamin kebebasan beragama berlangsung. Ini masalah yang terus berlangsung. Hukum juga bukan melindungi korban tetapi dijadikan alat melanggar hak asasi manusia,” kata Kepala Bidang Penanganan Kasus LBH Jakarta Muhamad Isnur dalam acara talk show dan peluncuran buku ‘Peradilan dan Keragaman’ di kantor LBH Jakarta pada Jumat (27/6).
Muhamad Isnur mencontohkan fakta yang terjadi atas jemaah Ahmadiyah di Cisalada dan Cikeusik. “Mereka menjadi korban, sudah dihancurkan rumahnya, babak belur dipukuli, bahkan meninggal. Terus mereka keyakinannya dilarang, tidak bisa beribadah, plus dikriminalisasi. Mereka masih dipenjara, dan ditahan di pengadilan.”
Peristiwa ketidakadilan yang dialami korban salah satunya dialami Deden Sudjana. Dia adalah korban penganiayaan yang masih hidup ketika peristiwa berdarah anti Ahmadiyah meletus di Cikeusik. Dalam peristiwa itu korban justru dikriminalkan, sementara terdakwa dihukum ringan. Hal ini menunjukkan hakim tidak independen di persidangan.
LBH Jakarta terus berupaya melakukan advokasi konvensional melalui pengadilan. Di samping itu, lembaga ini melakukan pendidikan kepada hakim melalui keterangan ahli dan saksi dengan harapan perspektif mereka dapat diuji melalui perdebatan di ruang sidang. Juga melakukan kampanye ke masyarakat.
Dalam acara itu diluncurkan tiga buah terbitan LBH Jakarta yang berjudul Agama, Negara, dan Hak Asasi Manusia, Terali Besi untuk Korban, dan Peradilan Kasus-Kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
Agama, Negara, dan Hak Asasi Manusia menceritakan proses pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang tu menimbulkan diskriminasi atas penghayat kepercayaan dan penganut agama lokal serta minoritas lainnya, menjadi dalil pelarangan minoritas kelompok keagamaan, dan menjadi dasar kriminalisasi atas hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.
Terali Besi untuk Korban merangkum pendampingan kasus jemaah Ahmadiyah di Cisalada dan Cikeusik dan upaya hukum terkait peraturan daerah yang diskriminatif. Mekanisme hak asasi manusia (HAM) internasional juga menjadi bahan ringkasan yang termuat di dalamnya.
Sementara Peradilan Kasus-Kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan mendokumentasikan delapan kasus terkait hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan yang menempuh proses litigasi. Dari pengamatan kasus akan diketahui cara aparat penegak hukum terlibat dengan pelbagai tingkatannya sehingga persekusi dan intoleransi berlangsung danterlegitimasi.
Dalam peluncuran buku ini, LBH Jakarta menyampaikan agar masyarakat mengingat keberagaman dan kekayaan Indonesia sehingga jangan terjadi lagi persekusi dan intoleransi.
Peluncuran buku yang didukung Yayasan Tifa dan Hivos ini dihadiri korban persekusi dan intoleransi seperti Deden Sudjana dari jemaah Ahmadiyah dan Pendeta Palti Panjaitan dari dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, pejuang ham, aktifis hukum dan kemanusiaan, dan wartawan. (satuharapan.com)