Jakarta, bantuanhukum.or.id—Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPU Penca) yang tergabung dalam Pokja RUU Penyandang Disabilitas menggelar Konperensi Pers yang bertempat di LBH Jakarta pada hari Senin (28/09/2015). Konperensi Pers ini dihadiri oleh sejumlah anggota komunitas disabilitas guna mengkritisi kinerja Panitia Kerja (Panja) dari Komisi VIII DPR RI yang sangat lambat mengajukan RUU Penyandang Disabilitas untuk dibahas bersama pemerintah.
Dalam pemaparannya, Fajri Nursyamsi dari PSHK, menjelaskan bahwa proses legislasi RUU Penyandang Disabilitas berjalan lambat dan justru mengalami kemunduran. Panitia Kerja (Panja) RUU Penyandang Disabilitas Komisi VIII DPR sudah menyelesaikan RUU Penyandang Disabilitas kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Proses yang berjalan dikatakan lambat karena Panja RUU ini sudah terbentuk dari bulan Mei 2015.
Fajri Menjelaskan bahwa terdapat kemunduran di dalam rancangan yang diberikan. Pasalnya, terjadi perubahan dari 268 pasal dipangkas sebanyak 117 pasal sehingga menjadi tersisa 151 Pasal. Pasal-pasal yang dihapuskan tersebut merupakan pasal-pasal krusial yang terkait pemenuhan prinsip – prinsip dasar dalam Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD).
“pemangkasan pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa RUU PD versi Panja Komisi VIII tidak aspiratif,” ucap Fajri.
Kemunduran juga ditunjukkan dalam Pasal 1 ayat (8) RUU Penyandang Disabilitas yang mengatur bahwa “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.” Ia menjelaskan, bahwa aturan di dalam ayat tersebut bertentangan dengan 3 hal sekaligus, yaitu tujuan pembentukan UU Penyandang Disabilitas, berbagai ketentuan UU lain, serta substansi dari RUU itu sendiri. Penempatan Kementerian Sosial sebagai leading sector dianggap salah bahwa isu disabilitas bukan hanya merupakan isu di sektor sosial, namun merupakan isu Hak Asasi Manusia, sehingga harus dipandang sebagai isu lintas kementerian.
Ariani Soekanwo dari PPUA Penca juga menekankan hal tersebut, bahwa Kementerian Sosial sebagai leading sector sudah terbukti gagal dengan dibubarkannya lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat yang diatur dalam Perpres Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
“Kementerian itu berada satu level dengan kementerian lain, tidak punya kewibawaan terhadap kementerian lain, jadi tidak pernah bersidang.” Papar Ariani
Di akhir konperensi pers, Pokja RUU Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa:
1. Mendesak Baleg DPR untuk segera menuntaskan proses harmonisasi dan sinkronisasi RUU Penyandang Disabilitas;
2. Mendesak Baleg DPR untuk menyatakan bahwa Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas bertentangan dengan UU lain di berbagai sektor;
3. Mendesak Panja Komisi VIII agar segera menghapus Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas dan menjadikan isu disabilitas ditangani oleh lintas kementerian;
4. Mendesak Pimpinan DPR untuk segera mengalihkan penanggung jawab dan persiapan dan pembahasan RUU Penyandang Disabilitas dari Komisi VIII kepada Panitia Khusu (Pansus), sehingga dalam prosesnya dapat melibatkan anggota DPR dari lintas Komisi;
5. Mendesak Presiden RI untuk tidak menunjuk Kemensos sebagai perwakilan Pemerintah dalam proses pembahasan RUU Penyandang Disabilitas bersama DPR kelak. Presiden RI harus melibatkan semua Kementerian terkait, dan menunjukkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai perwakilan Pemerintah. (Arnold)