Ditengah polemik pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK-RI), Koalisi Selamatkan KPK mengajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terkait Pasal Kewenangan Hak Angket DPR-RI dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) pada Rabu (20/7). Koalisi Selamatkan KPK menganggap bahwa DPR tidak berwenang menggunakan Hak Angket kepada KPK. Beberapa perwakilan organisasi masyarakat sipil hadir untuk mengantarkan berkas permohonan tersebut diantaranya adalah Muhammad Isnur (YLBHI), Yunita Purnama (LBH Jakarta), Arif Maulana (LBH Jakarta), Lalola Easter (ICW), dan Nelson Ferdinand Saragih (KPBI).
“Apa yang menjadi dasar dari pengajuan Judicial Review ini adalah bahwa pada dasarnya DPR tidak berwenang menggunakan hak angket terhadap KPK, karena pada dasarnya KPK adalah lembaga pemerintah independen yang tidak bisa diawasi oleh lembaga apa pun termasuk DPR. Oleh karenanya, panitia khusus hak angket tersebut harus batal demi hukum”, ujar Muhammad Isnur dari YLBHI.
Lebih lanjut, Koalisi Selamatkan KPK menganggap bahwa proses hak angket terhadap KPK oleh DPR-RI memiliki motif yang politis, terutama disebabkan oleh kasus korupsi proyek e-KTP yang banyak menimpa petinggi dan anggota DPR-RI.
Dalam press release yang dikeluarkan Koalisi Selamatkan KPK, yang menjadi alasan permohonan Judicial Review adalah Mahkamah Konstitusi perlu memaknai konstitusionalitas (tafsir konstitusional) Pasal 79 ayat (3) Undang-undang MD3, dimana kewenangan hak angket oleh DPR tidak dapat ditujukan untuk menyelidiki KPK.
Selain itu, Koalisi Selamatkan KPK beralasan Mahkamah Konstitusi perlu menafsirkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bahwa dalam kasus kewenangan hak angket oleh DPR terhadap KPK, pun tidak memenuhi unsur penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian alasan yang terakhir adalah Mahkamah Konstitusi perlu menafsirkan Pasal 199 ayat (3) UU MD3 mengikat DPR untuk dilaksanakan dengan kejelasan jumlah anggota DPR yang setuju atau tidak setuju dan ditentukan dalam persidangan.
Pasca Konferensi Pers, Yunita Purnama (LBH Jakarta) menambahkan bahwa dalam proses kesepakatan hak angket di DPR-RI, tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas berapa anggota yang setuju dan tidak setuju terhadap hak angket.
“Mekanisme kesepakatan langkah hak angket di DPR ini tidak transparant, dan cenderung sepihak dipaksakan oleh anggota-anggota DPR-RI yang berkepentingan. Ini bisa dilihat dari tidak adanya mekanisme quorum dalam pengambilan keputusan di DPR”, imbuh Yunita Purnama.
Yunita juga menambahkan, bahwa yang sangat perlu disoroti adalah dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3, pada klausul “hak angket DPR untuk menyelidikan pelaksanaan peraturan kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara” terasa masih subjektif dan tidak ada tolak ukur yang jelas. Tanpa pembatasan yang jelas, ia bisa menyasar kepada persoalan lain yang sebenarnya tidak memenuhi unsur pasal tersebut. (Rasyid)