Jakarta – Selasa (15/7), perwakilan beberapa organisasi masyarakat sipil, diantaranya: ICW, Migrant Care, IGJ, LBH Jakarta, Imparsial, Kontras, KPI, Yappika, FSGI, PSHK, Walhi, dan Setara, mendatangi KPK untuk meminta pengawasan terhadap praktek kecurangan saat Pemilihan Presiden. Permintaan ini dilatarbelakangi oleh dugaan kecurangan di beberapa daerah, termasuk formulir C1 yang direkayasa dan hilangnya suara pendukung Jokowi-JK di Bangkalan Madura, serta dugaan money politic.
Perwakilan FSGI melaporkan kepada KPK soal data guru yang digunakan oleh kubu Calon Presiden Nomor 1 untuk mengajak mencoblos dirinya di pemilihan presiden 9 Juli lalu. FSGI yakin bahwa pemerintah adalah pihak yang membocorkan data guru kepada salah satu Capres, sebab data tersebut disimpan oleh Pemerintah. Pembocoran data guru demikian jelas merupakan pelanggaran.
Di luar negeri pun, terjadi dugaan kecurangan saat pemilihan. Khususnya di Malaysia dan Hong Kong.
Penggunaan sumberdaya birokrasi pemerintahan untuk mendukung atau bahkan merekayasa suara, merupakan pelanggaran aturan pemilu dan sarat dengan korupsi.
Perwakilan KPK menyadari bahwa kolusi dan nepotisme merupakan praktek yang berbahaya yang tentu akan mengarah pada korupsi. Oleh karena itu, sudah semestinya ada undang-undang khusus mengenai kolusi dan nepotisme ini.
KPK menyatakan telah memperhatikan persoalan kecurangan Pemilu ini, dan akan terus mengawasi. KPK meminta agar Koalisi masyarakat dapat mendukung KPK dengan memberikan data detil kecurangan. (Febionesta)