Akses Keadilan merupakan bagian dalam mewujudkan Hak Asasi Manusia yang harus dirasakan manfaatnya oleh setiap Warga Negara. Negara memiliki kewajiban untuk memenuhinya. Tingginya kebutuhan akan akses keadilan melahirkan kesadaran atas pentingnya bantuan hukum. Hak untuk memperoleh Bantuan Hukum sendiri di Indonesia terutama bagi masyarakat miskin, buta hukum, dan tertindas saat ini diatur melalui beberapa peraturan perundang-undangan mulai dari Rv (Reglement Op De Rechtsvordering), KUHPerdata, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, sampai dengan Undang-Undang Advokat.
Selain peraturan perundang-undangan di atas, dibentuk pula Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang secara khusus mengatur bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Kehadiran Undang-Undang ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan gerakan bantuan hukum di Indonesia. Di mana, bantuan hukum pertama kali berkembang tidak saja dalam konteks pembelaan korban pelanggaran hak sipil dan politik, melainkan juga dijadikan salah satu metode dalam pembelaan dan promosi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sebagai pengaturan utama dalam hal bantuan hukum, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 11 tentang Bantuan Hukum memiliki cita-cita menyelenggarakan Bantuan Hukum secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
Koalisi Jaringan Advokasi Bantuan Hukum DKI Jakarta mengadakan rapat bersama Biro Hukum Pemerintah Propinsi DKI Jakarta bersama Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta di Gedung Balai Kota Lantai 9, (05/11). Pertemuan ini dilakukan guna membahas draft Perda Bantuan Hukum dan memberikan beberapa masukan dalam draft Perda Bantuan hukum tersebut.
Hal pokok yang dibahas dalam pertemuan ini terkait dengan ketidakjelasan standar miskin dalam aturan bantuan hukum, keberadaan kelompok menengah yang membutuhkan akses bantuan hukum, dan susahnya akses bantuan hukum bagi kelompok minoritas dan rentan. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU 16/2011 draft Perda Bantuan Hukum tertulis mengenai pembatasan pada pengertian “miskin” yang menjadi syarat utama penerima bantuan hukum.
Darft Perda Bantuan hukum dalam Pasal 5 ayat (1) UU 16/2011 (1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. (2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
Dari penjabaran pasal tersebut dapat diketahui bahwa hak atas bantuan hukum hanya untuk golongan miskin saja dan untuk mendapatkan layanan bantuan hukum yang diberikan dengan skema UU tersebut, maka pemohon bantuan hukum harus menunjukkan dokumen-dokumen yang memvalidasi status miskin mereka, seperti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau dokumen-dokumen lainnya seperti Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung Tunai, Kartu Beras Miskin, atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan miskin.
Pembatasan miskin yang hanya ditentukan “tidak dapat memenuhi hak dasar (hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan) secara layak dan mandiri” belum dapat memberikan kejelasan siapa saja yang berada dalam batasan miskin yang diartikan undang-undang ini.
“Apabila hanya mengandalkan dokumen-dokumen keterangan yang dapat dengan mudah diterbitkan ketika diurus pada kantor-kantor pemerintahan, maka akan menjadi rancu menggunakan surat-surat keterangan tersebut sebagai pokok patokan penentu status miskin seseorang,” ungkap Ayu Eza Tiara Pengacara Publik LBH Jakarta.
Dalam konteks keberadaan kelas menengah yang masih memiliki keterbatasan dalam memperoleh bantuan hukum. Menurut data Asian Development Bank (ADB), kelas menengah sendiri dibagi dalam kelas menengah bawah dengan pengeluaran per hari $2-4 US, kelas menengah tengah dengan pengeluaran per hari $4-10 US, kelas menengah atas dengan pengeluaran per hari $10-20 US. Berdasarkan standar tersebut, kelas menengah di Indonesia adalah mereka dengan pengeluaran per hari antara Rp. 26.666,67 – Rp. 266.666,67. Kelompok menengah dengan rata-rata penghasilan berkisar antara Rp. 800.000,- hingga Rp. 8.000.000,- telah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU 16/2011. Hal tersebut mengakibatkan mereka tidak berhak mendapatkan akses hak atas bantuan hukum berdasarkan UU 16/2011.
Selanjutnya, kebutuhan atas bantuan hukum ketika berhadapan dengan hukum tidak hanya dialami oleh kelompok ekonomi rendah (miskin) atau kelompok menengah, namun hal tersebut juga dirasakan oleh masyarakat yang dibatasi akses keadilannya karena dianggap berbeda sebagaimana yang terjadi pada kelompok minoritas dan rentan. Tidak seluruhnya kelompok minoritas dan rentan adalah kelompok miskin atau menengah, namun masih ada pembatasan dalam mendapatkan akses keadilan seperti tidak adanya Advokat yang mau menjadi pembelanya dan diskriminasi lain yang dialaminya.
Koalisi Jaringan Advokasi Bantuan Hukum DKI Jakarta juga berpesan kepada Biro Hukum dan TGUPP DKI Jakarta untuk segera mungkin membahas dan memasukkan Perda Bankum dalam Prolegda DKI Jakarta. Koalisi ini tergabung karena persamaan visi yang dimiliki untuk mendorong adanya Peraturan Daerah (PERDA) tentang Bantuan Hukum di wilayah Provinsi DKI Jakarta untuk memperluas akses bantuan hukum kepada masyarakat yang termarjinalkan. Koalisi ini terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS PEREMPUAN), The Indonesia Legal Resource Center (ILRC), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI FH UI, Bandung Wangi, IFLC, KPI Jakarta, OPSI, Suara Kita dan Parinama Astha. (Nur Afiat)