Jakarta, 8 Januari 2024, Kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) akhirnya tiba pada tahap pembacaan putusan akhir. Sejak pagi, Pengadilan Negeri Jakarta Timur dipenuhi oleh aparat keamanan dengan senjata lengkap dan mobil taktis dengan jumlah yang sangat banyak. Adapun aparat berjaga berasal dari ragam satuan mulai dari Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Timur hingga Polsek Cakung. Adapun kesatuannya pun beragam, mulai dari Brimob, Ditpamobvit, Sabara, bahkan hingga unsur Tentara Nasional Indonesia. Hal ini jelas sangat eksesif, sebab pengerahan aparat keamanan dengan jumlah besar tidak memiliki urgensi, serta tidak sesuai dengan asas proporsionalitas sebagaimana diatur dalam Perkap No. 1 Tahun 2009.
Sebelumnya Jaksa telah membacakan tuntutannya yang pada intinya menyatakan tindakan Haris Azhar pada intinya dinyatakan telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) jo. UU ITE Pasal 55 ke (1) KUHP. Adapun tuntutan yang diajukan Jaksa yakni menghukum 4 tahun dan denda 1 Juta Rupiah subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Jaksa juga meminta agar link youtube Haris Azhar dihapus dari jaringan internet. Sementara itu, Fatia dinyatakan telah bersalah melanggar pasal yang sama dengan Haris. Tuntutan yang dimohonkan oleh JPU kepada Fatia yakni selama 3 tahun 6 bulan.
Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim menyatakan akan membacakan putusan kedua terdakwa secara bersamaan, putusan pun tidak dibacakan secara utuh, melainkan hanya beberapa bagian inti saja. Dalam putusan yang dibacakan, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak bisa dilepaskan dari putusan Mahkamah Konstitusi dan Surat Keputusan Bersama tiga lembaga yakni Kominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa kata ‘lord’ bukan masuk ke dalam unsur pencemaran baik. Begitupun yang diucapkan oleh Fatia dalam video podcast, yakni kata ‘jadi penjahat juga kita’, menurut majelis perkataan tidak menuju kepada LBP sehingga juga tidak dapat diklasifikasikan kepada penghinaan.
Sementara untuk kalimat ‘bisa dibilang bermain tambang yang terjadi di papua hari ini ‘yang diucapkan Fatia, hakim menilai bahwa hal tersebut terbukti dan tidak dapat diingkari, sebab PT TDM sebagai anak perusahaan PT Toba Sejahtera yang sahamnya dimiliki 99 persen oleg LBP, memiliki keterkaitan pada penjajakan bisnis di papua. Hakim menambahkan bahwa unsur-unsur pasal tidak terbukti menurut hukum, terdakwa tidak terbukti melakukan delik sebagaimana diatur pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik atau dalam dakwaan pertama.
Lebih lanjut, hakim turut membacakan pasal dakwaan lainnya yakni Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 tentang pemberitahuan bohong. Dalam pasal ini pun, pertimbangan hakim menyatakan bahwa PT Toba sebagai Beneficiary Owner (BO) terlihat dari korespondensi antara paulus prananto dengan PT MQ dan West Wits Mining untuk darewo project. Sehingga, yang diucapkan oleh Fatia dan Haris yang mana didasari pada hasil riset koalisi masyarakat sipil bukan merupakan berita bohong. Lebih lanjut, hakim pun menilai bahwa judul podcast ‘Ada Lord Luhut di Balik Operarsi Militer di Papua” juga bukan merupakan pemberitaan bohong sehingga dakwaan primair kedua tidak terpenuhi.
Selain itu, perihal Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana khususnya berkaitan dengan keonaran, dalam dakwaan kedua subsidair, merujuk pada publikasi yang dilakukan australia stock exchange, terbukti bahwa telah ada penjajakan bisnis antara PT TDM dan West Wits Mining. Adapun PT TDM sebagai anak dari PT toba sejahtera sehingga Luhut memperoleh manfaat karena mendapatkan laporan keuangan secara berkala. Dalam penjabaran ini, Pasal ini juga tidak terpenuhi.
Begitupun Pasal 311 KUHP sebagai dakwaan ketiga dalam perkara ini, majelis hakim dalam putusannya pun menjabarkan unsur-unsur yang ada. Sama seperti pasal-pasal lainnya, hakim menyatakan bahwa yang dilakukan Fatia dan Haris bukanlah melanggar kehormatan dan nama baik, melainkan sebuah kenyataan sehingga delik pada unsur pasal ini tidak terpenuhi.
Dalam kesimpulannya, hakim membacakan bahwa seluruh unsur tidak terpenuhi baik dari dakwaan primair, dakwaan kedua primair, dakwaan kedua subsidair, hingga dakwaan ketiga.
Berdasarkan putusan ini, Muhammad Isnur dari Tim Advokasi untuk Demokrasi menuturkan, “putusan ini memberikan pesan bahwa kita harus dan terus mengkritik, berbicara dan menyampaikan pendapat. Apa yang disampaikan hakim adalah kebenaran, karena menyebut demokrasi dan kebebasan berekspresi. Putusan ini menyampaikan pesan bahwa jangan takut dan jangan berhenti.”
“tujuan awal podcast ini adalah membantu masyarakat di Papua yang masih hidup dalam situasi kekerasan dan pelanggaran ham.” tambah Muhammad Isnur.
Arif Maulana yang juga dari Tim Advokasi untuk Demokrasi pun menyampaikan “apa yang dibacakan majelis hakim dalam putusannya mengakui bahwa riset dari koalisi masyarakat sipil adalah benar dan harus diakui sebagai sebuah fakta. Riset tersebut menyatakan bahwa terdapat conflict of interest dari LBP. Maka, ketika ingin hukum setara, polisi harus mengusut jejak bisnis pertambangn yang dilakukan oleh perusahaan Luhut.”
Arif Maulana menambahkan bahwa “ada harapan bagi demokrasi, kami berharap Mahkamah Agung bisa konsisten jika ada upaya hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.”